Bosan. Selalu saja seperti ini. Apa aku memang bukan orang yang berbakat ? . semua yang ku lakukan terasa percuma. Aku iri dengan mereka yang sejak lahir sudah memiliki bakat yang sangat mengagumkan. Semua teman di sekolahku pun masing-masing memiliki bakat yang berbeda. Aku merasa tidak berguna.
Sungguh percuma saja. Berapa kalipun aku mencoba, hasilnya akan selalu terlihat bodoh. Bermain gitar, melukis, bermain sepak bola, menulis, semua tak mempan untukku. Semua telah ku lakukan dan hasilnya nihil. Tulisanku jelek, gambarku hancur, dan permainan gitarku sangat buruk sekali.
Apa Tuhan lupa memberiku sebuah bakat saat ku akan di lahirkan ?. ah tidak mungkin, tidak mungkin Ia lupa. Dosaku karena telah menginjak semut secara sengaja pun Beliau ingat, apa lagi memberikan sebuah bakat pada seluruh makhlukNya. Tapi sungguh, aku masih ragu akan diriku. Apa ini semua biasa terjadi pada semua anak seusiaku ?.
Aku pernah membaca sebuah buku, yang isinya menceritakan tentang kesuksesan. Dalam buku itu tercantum sebuah kalimat yang sangat membuatku bersemangat yaitu, “kesuksessan bisa diraih dengan 1 % bakat dan 99% keringat”. Sungguh kata-kata itu membuatku berapi-api. Tak ada lagi batu karang yang membuatku berhenti untuk meraih kesuksesanku sendiri.
Saat musim penghujan datang, tiba-tiba aku ingin sekali menjadi penulis. Akhirnya aku memutuskan untuk bergabung dengan salah satu perkumpulan yang isinya semua orang yang berkeinginan menjadi penulis.
Seminggu ku lewati dengan berbagai seminar di perkumpulan itu. Pelatihan demi pelatihan ku jalani dengan suka cita dan penuh sikap antusias. dan akhirnya pada pertengahan oktober, semua anggota perkumpulanpun harus melewati tes praktek menulis cerpen untuk sampai ke tingkat yang lebih tinggi.
“Hei Yo, gimana ? udah siap buat tes praktek ?” tanya salah seorang temanku, Andi namanya.
“Insya Allah siap cuy, lu gimana ? udah siap ?” jawabku dengan wajah bersemangat.
“Siap dong. Lu mau ngambil tema apa buat cerpen lu ?” tanyanya penuh nada ingin tahu dan sedikit nada merendahkan.
“Hmm tentang idealisme seorang penyair. Lu tentang apa ?” aku balik bertanya.
“oh, kalo gue tentang pengamen jalanan. Eh, udah dulu ya gue mau cari tempat yang suasananya bagus, supaya dapet inspirasi yang keren. Dah.” Andi tersenyum sebentar lalu pergi dengan gayanya yang sok keren.
Hah, pengamen jalanan. Basi. Aku yakin ideku lebih bagus dari pada ide Andi. dan aku yakin cerpenku akan lebih menarik di baca oleh juri ketimbang cerpen Andi. Aku mulai besar kepala, tapi aku anggap itu sebagai sikap optimis.
Tes praktekpun di mulai, saat itu cuaca sedang cerah, aku sendiri merasa bingung, kenapa ada cuaca cerah di musim penghujan. Tapi apa boleh buat, terkadang alam ingin menunjukan kehebatannya dalam merubah cuaca secara tiba-tiba.
Semua peserta mengambil tempatnya masing-masing yang mereka kira bisa mendatangkan inspirasi. Kebanyakan dari mereka mengambil tempat yang penuh dengan pohon rindang agar tidak kepanasan. Sedangkan aku malah mengambil tempat yang tak satupun orang ingin menempati tempat itu, di tengah lapangan upacara. Tak ada angin semilir, tak ada kesejukan, tak ada wanita cantik, yang ada hanyalah terik matahari yang siap membakar kulit. Aneh memang, kenapa aku harus berdiam diri di tempat seperti itu. Alasannya hanya satu, karena cerpenku berjudul “Derita Penyair Padang Pasir”. Ya, mungkin saja dengan aku memilih lapangan upacara sebagai tempat praktekku aku bisa mendapatkan inspirasi yang mengalir bagai air.
Lima belas menit berlalu, bajuku basah penuh keringat. Kulitku memerah karena terbakar. Sedangkan aku terus berkata dalam hati. Bersabalah..bersabarlah... ikhlas..ikhlas... Lalu berlanjut dengan mengatakan, Jus jeruk.. jus mangga.. jus alpukat.. Memang kacau pikiranku saat itu. Padahal cerpenku baru terisi tiga lembar kertas polio, tapi otakku sudah mulai kena penyakit gila stadium empat gara-gara cuaca yang teramat sangat panas di tengah lapang upacara.
Tiga puluh menit kemudian kesadaranku sudah mulai hilang. Terkadang aku berteriak secara tiba-tiba. Terkadang aku tertawa sendirian dan tanpa alasan aku menangis dalam tawaku. Aku menjadi gila. Tak bisa ku percaya. Aku yang selalu jijik melihat orang gila di pinggir jalan, akhirnya merasakan bagaimana rasanya jadi orang gila.
Bebarapa juri mencoba untuk memindahkanku ke tempat yang lebih waras untuk menulis. Tapi aku menolak dengan kasar. Aku mulai membabi buta. Gayaku menulis seperti gaya Wong Fei Hung saat bertarung menggunakan jurus dewa mabuk. Akhirnya karyaku selesai, Derita Penyair Padang Pasir siap untuk disajikan (Baca : dinilai ).
Semua peserta dipanggil satu persatu berdasarkan urutan huruf depan nama masing- masing. Ternyata aku memang bukan seorang anak yang dilahirkan dengan keberuntungan. Bukan hanya tidak memilika bakat, nama yang ku miliki pun turut serta membuatku menderita. Bayangkan saja, ada sekitar 132 peserta yang ikut tes ini dan semua dinilai satu persatu secara berurutan berdasarkan huruf awal nama masing-masing peserta. Zulkarnaen Prasetyo, itulah namaku. Bisa kau bayangkan betapa sialnya aku ?.
Setalah lama menunggu akhirnya tiba pada saat yang paling ditunggu-tunggu dalam hidupku.
“Zulkarnaen Prasetyo !” Dewan juri memanggilku dengan nada datar.
Aku melangkah kedepan dengan percaya diri. Ku lihat peserta sebelumku hanya di beri pujian sekenanya. Ku yakin itu karena karya mereka biasa-biasa saja.
“Derita Penyair Padang pasir. Hmm benar ini karyamu ?” nadanya datar dan tatapannya dingin.
“Be..be..benar.” Jawabku gugup.
“Judulnya cukup menarik.” Tambahnya sambil mengangguk-anggukan kepala.
“Yap, Sudah ku duga.” Kataku dalam hati sambil tersenyum bahagia.
“Tapi, setelah kami baca, ceritamu sungguh bertele-tele. Alurnya monoton. Gaya bahasanya berlebihan padahal inti ceritanya biasa saja. Kemudian banyak sekali kata-kata kasar dan vulgar yang anda tulis di cerpen anda. Terlebih tulisan anda yang kurang jelas sehingga menyulitkan kami sebagai dewan juri untuk memeriksa cerpen anda. Jadi mohon maaf, anda belum layak untuk naik tingkat. Kami berharap anda bisa memperbaikinya tahun depan. Hmm berikutnya...”
Tatapanku kosong, mulutku menganga lebar. Aku tak percaya dengan apa yang barusan dikatakan oleh dewan juri. Terlebih nada bicaranya yang sangat datar dan malas. Sungguh membuatku sakit hati. Air mataku hampir saja keluar. Tapi aku tak ingin merusak harga diriku lebih dalam lagi. Akhirnya ku putuskan untuk pulang tanpa permisi. Terdengar bisikan bernada mengejek saat aku turun panggung penilaian. Sedangkan aku hanya menunduk diam menahan rasa kecewa yang teramat dalam.
Aku berlari meninggalkan tempat terkutuk itu ( baca : gedung perkumpulan penulis). Aku berlari sangat cepat seakan tak peduli dengan keadaan sekitarku yang penuh dengan kendaraan. Tiba-tiba cuaca yang tadinya cerah menjadi mendung seketika. Hujanpun turun dengan deras, seakan menangisi semua kekecewaan yang ku rasakan.
Esoknya aku kena demam yang cukup parah seminggu lamanya. Hingga detik ini aku mengurung diriku di kamar. Malas sekali rasanya aku bertemu dengan orang-orang di sekitarku. Senyum bahagia mereka sungguh membuatku iri. Sudah ribuan kali aku mencoba untuk melawan keterbatasanku. Tapi tetap saja hasilnya nihil.
.: CERPEN @ BUBBLE GUM STORY :.
Pagi ini masih terlihat mendung, hawa dingin menusuk kulitku hingga ke tulang. Aku berjalan seorang diri menuju sekolahku yang sangat aku benci. Dua minggu lagi perpisahan, aku tak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku tak ingin menjadi pecundang di hari terahirku di sekolah. Tapi apa daya, aku memang tak bisa melakukan apa-apa. Aku memang pecundang.
“Pagi Yo, udah sembuh ?” Sapa teman sebangkuku Ciko.
“Ya, lumayan.” Jawabku sekenanya.
“Oia, yo, lu masih mau bisa main gitar kan ?” tanyanya lagi, bagiku terdengar seperti ejekan.
“Haah, gue lagi males ngelakuin apa-apa.” Jawabku datar.
“Yah, ko gitu sih. Ayolah man, inget stand and fight.” Ujar Ciko dengan penuh semangat.
Tiba-tiba jantungku merasa berdetak lebih cepat satu detik saat mendengar kata-kata stand and fight. Seketika teringat semua perjuanganku dari awal sampai dengan tes menulis minggu lalu. Air mataku hampir mengalir. Aku memang pecundang, tapi aku tak boleh menyerah sekarang. Pecundang tidak selamanya harus kalah.
“Yaudah, emang ada apa sih lu nanya-nanya itu ke gue ?” tanyaku sedikit lebih antusias.
“Gini, pas perpisahan, kelas kita bakal nampilin drama musikal. Dan di sela-sela drama ada pembacaan puisi yang diiringi ama gitar klasik. Kelas nyediain tiga gitar buat dimainin. Semua udah kebagian peran masing-masing. Yang nganggur tinggal gue, Haden, sama elu Yo. Gimana ? mau ga? Nanti gua ajarin deh Partiturnya.”
“Bener lu Cik ? Gue ga yakin, gue bakal di ajak ama anak-anak. Gue kan termasuk kumpulan madesu (masa depan suram)”
“Ya makanya, lu berusaha dong. Biar lu ga madesu lagi, mending lu ikut bareng kita. Setuju ?”
Kata-kata Ciko membuatku kembali bersemangat. Akhirnya musim dingin kehidupan telah berakhir. Aku harus menyambut hari esok yang lebih baik.
“Ok deh, gue mau. Kapan kita mulai latihan ?” tanyaku bersemangat.
Ciko menjwabnya dengan senyuman yang berarti “Selamat datang di zona penuh kemenangan.” Sungguh aku sangat tertarik dengan tawaran temanku yang satu ini. Aku mulai membayangkan diriku di atas panggung dengan memegang sebuah gitar akustik yang sangat elegan. Lalu aku memulai permainan gitar klasik dengan permulaan yang sangat menyayat hati. Kemudian Annisa, pujaan hatiku memandang ke arahku dengan tatapan kagum. Hmm sungguh kebahagian yang sangat ku impikan. Dan ku harap semua khayalanku di atas bisa tercapai dengan sempurna. Amin.
.: CERPEN @ BUBBLE GUM STORY :.
Waktu tinggal seminggu lagi menuju perpisahan sekolah. Sedangkan aku baru belajar gitar selama tiga hari. Dan sialnya intronya saja aku belum hafal. Berkali-kali Ciko terlihat bosan mengajariku. Raut wajahnya mengatakan ... Baru kali ini aku punya murid tak becus seperti dirimu. Haden yang setiap latihan selalu berada di sebelahku hanya bisa memberi semangat.
“Yo, gue liat. Lu udah mahir di bagian intro, nah, gue punya video di bagian klimaksnya. Lu bisa latihan sendiri di rumah kan ?” kata Ciko sedikit putus asa.
“Oh, ok deh Cik. Urusan gampang itu mah.” Kataku sok bisa.
“Sial, belajar langsung dari orangnya aja gue ngos-ngosan, apalagi lewat video.” Kataku dalam hati.
“Yaudah Yo, gue balik dulu ya. Nyokap gue udah nyariin dari tadi sore.”
“Oh yaudah. Hati-hati di jalan Cik.”
Sekolahku memang menyeramkan. Baru jam tujuh malam saja semua lampu sudah di matikan. Aku keluar dari ruang kesenian. Aku baru sadar semua orang sudah pulang. Anggota Rohis yang sering disebut-sebut sebagai kuncen sekolahpun kini sudah tak nampak lagi batang hidungnya. Sekolah ini sangat sepi. Ironis. Siang hari sekolah ini terlihat sangat megah dan ramai. Tapi malam hari seakan telah merenggut semua kebahagiaannya. Sekolahku terlihat sangat kesepian. Seperti diriku.
Tiga hari berikutnya...
Aku terbangun di pagi hari yang sangat dingin. Tanganku sedikit terasa keram akibat tiga hari tiga malam aku terus menerus bermain gitar. Otakku pun seperti di penuhi oleh partitur-partitur yang memusingkan. Tapi aku harus ke sekolah. Hari ini ada rapat kelas sebelum perpisahan.
“Gawat man.” Haden langsung menyerobot ke arahku.
“Gawat apanya ?”
“Kata panitia, kita Cuma dikasih dua sound buat gitar akustik. Sisanya udah di pake buat alat musik yang lain.”
“Jadi..”
“Iya, salah satu dari kita bakal ada yang ga ikut tampil.”
Deg, walau belum pasti bahwa aku yang harus mundur, tapi perasaanku jadi mendadak tidak enak.
“Hmm teman, gue tahu ini bakalan sulit buat kalian. Tapi gue harap kalian ngerti, karena ternyata persediaan peralatan kita kurang mendukung. jadi, supaya adil, kita adakan tes dadakan buat nentuin siapa yang bakal tampil sebagai pengiring gitar akustik di kelas kita.” Ketua pelaksana drama musikal angkat bicara.
Satu jam kemudian...
Sudah ku duga. Akulah yang seharusnya mundur. Tes dadakan. Hah, aku sudah tahu dari awal aku memang tak akan pernah tampil. Seluruh kelas mempersiapkan segala perlengkapan yang merka perlukan di atas panggung. Sedangkan aku hanya duduk di kursi penonton. Sebenarnya datang saja aku sudah malas, tapi demi menghormati teman baikku akhirnya aku datang juga.
Setelah lama menunggu akhirnya kelasku tampil juga. Sangat rapi, menarik, dan mengagumkan. Sayang aku tak jadi bagian dari mereka. Di akhir cerita Ciko dan Haden keluar dengan gagahnya sambil membawa Gitar Akustik yang sangat elegan. Permainanpun dimulai. Sangat indah.
Semua bertepuk tangan. Hanya aku yang beda sendiri. Ku akui, aku iri. Di sela keramaian penampilan kelasku, ada satu hal yang tiba-tiba menarik perhatianku. Annisa, wanita pujaanku. Untuk apa dia diatas panggung ?.
Perasaanku tidak enak. Dengan gayanya yang pemalu ia mendekat ke arah Ciko. Sial, apa yang akan Annisa lakukan ?. Semua kebisingan tiba-tiba berhenti. Sunyi seketika. Lalu..
“Ini untuk Ka Ciko.” Kata Annisa seraya memberikan sekuntum bunga mawar yang sangat indah. Suaranya lembut, terdengar jelas sangat menyakitkanku. Tapi semua bertepuk tangan.
Tidak. Jangan. Jangan cintaku. Kau boleh tak memberikan bakat untukku. Kau boleh ambil seluruh kebahagiaanku. Tapi jangan Cintaku Ya Tuhan. Jangan. Hatiku bergemuruh siap untuk meledak.
Aku berlari menjauhi keramaian. Peduli setan pada kebenaran. Semua telah hancur. Aku tak percaya lagi pada kehidupan. Dengan amarah yang meluap-luap akhirnya ku tuliskan semua kisah menyedihkanku. Rencana ini begitu spontan, tak ada tujuan apapun, aku hanya ingin buang sial dengan menulis cerita sialku.
Angin berhembus pelan. Hatiku hampa. Dengan putus asa ku kirimkan semua cerita sedihku ini pada majalah History. Aku tak tahu lagi apa yang harus ku lakukan pada karyaku ini. Jadi, dari pada disimpan dan jadi benda pembawa sial, lebih baik ku kirimkan saja ceritaku ini pada majalah History.
.: CERPEN @ BUBBLE GUM STORY :.
“Yo, lu emang temen gue yang paling hebat.” Kata temanku di suatu pagi.
“Maksud kamu apa sih ?”
“Masa lu ga nyadar si ? cerpen lu kan terbit di majalah History. Gue dan temen-temen suka banget ama cerita lu. Gue aja bacanya sampe nangis-nangis.”
“Ah, masa sih ?” tanyaku masih ragu. Aku memang tak pernah berharap cerpenku akan dimuat di majalah.
“Ni lu liat .” kata Rian sambil mengeluarkan majalah History.
“Wah, ternyata bener. Gila.. gue kira cerpen ini ga akan pernah di muat. Haha.”
Beberapa saat kemudian, hampir semua perempuan di sekolahku menghampiriku dan meminta tanda tangan padaku, cerpen History memang terkenal di kalangan pelajar. Aku kaget sekaligus bahagia. Ternyata sesuatu yang ku anggap sebagai benda sial malah mendatangkan keberuntungan.
Aku pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri. Aku langsung membuka inbox E mail –ku. Ku lihat ada e mail masuk dari majalah History, di sana tertulis aku harus membuat tulisan baru untuk mengisi rubrik terbarunya yaitu “Riwayat hidup paling menyedihkan”.
Tak ayal aku langsung berjingkrak-jingkrak ria melihatnya. Ini adalah hari terbaik dalam hidupku. Benar kata temanku waktu itu “Penderitaanku adalah aset berhargaku”. Dan benar kata Almarhum Ayahku , “God always works in misterious way”.
0 komentar:
Posting Komentar