Hujan di sore itu sangat indah. Tak begitu deras namun harmoni dari rintik hujan membuat jiwaku bergairah. Aku ingin hujan selalu menemaniku. Aku benci berada disini. aku ingin berlari menentang Sang Badai dan mengajaknya bermain, menghancurkan seluruh kota yang hina ini seperti waktu itu. Aku ingin bernyanyi dengan rintik hujan, dan menari diatas altar kebekuan senja. Namun apa daya kekuasaan telah membelengguku. Ia mengikatku dengan rantai peraturan. Dan mengurungku dalam kerasnya hukuman. Hanya lewat jendela ku dapat melihat hujan. Namun rintiknya tetap mengalun bagai sebuah lagu.
Hingga detik ini aku masih terdiam. Melihat hujan di balik jendelaku yang beku. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda di tengah hujan. Yang membuatku semakin berhasrat untuk keluar dari jendala rahasiaku, batas kehidupan orang asing sepertiku. Dialah Aluna sang penyair. Penyair tanpa kata yang selalu menggunakan bahasa keindahan sebagai bahasa kehidupan, seorang gadis yang selalu membuatku bermimpi tentangnya di kala malam menjemput. Dialah arti kehidupan yang selalu membuatku gelisah tentang hal itu, arti kehidupan yang selama ini ku cari dalam kitab-kitab filsafat.
Saat orang-orang di desaku bersembunyi di kala petir menyambar. Dialah seseorang yang selalu menghampiri hujan. Menurutnya hujan adalah anugerah, dan seharusnya kita menjemputnya bukan menjauhinya. Dialah kejeniusan masa muda. Dialah kebijaksanaanku. Disaat kemunafikan menggerogoti tubuhku, dialah seseorang yang selalu mencabut topeng menjijikan itu dari hati ku. Dialah Aluna malaikat kecilku.
Di tengah hujan yang deras itu, ia menari dengan sangat indah. Tarian yang takkan pernah dimainkan oleh siapapun. Jika mereka diluar sana mengatakan bahwa hidup adalah misteri. Aluna adalah misteri kehidupan bagiku. Ialah Aluna , sebuah puzzle kehidupan yang tak pernah kuselesaikan. Oh, wahai Tuhan Semesta Alam, akankah ku dapat meraih tangannya. Meraih jari-jari halus nan lembut dari tangan perempuan idealisku. Akankah bumi dan langit bisa bersatu kembali seperti saat pertama kali bertemu. Ku terus berharap, sedangkan ku masih terduduk dalam kursi pesakitanku, masih melihatnya menari.
Dalam tariannya yang mistik, Aluna seperti memanggilku dan mengajakku untuk bergabung dengannya. Sungguh gerakan yang rumit dan penuh dengan nuansa kehidupan dikala hujan datang.
Tak tahan ku menahan rindu yang teramat sangat, seketika ku lepaskan rantai besi itu dari kakiku, dan ku pecahkan jendela kamarku yang dingin. Sesaat itu juga aku mendengar sebuah teriakan yang setiap orang yang mendengarnya akan mati ketakutan. Teriakan jiwaku.
Aku telah keluar dari jendela rahasiaku. Dan sejenak Aluna menghentikan tariannya. Aku berdiri beberapa meter dari hadapannya. Tatapan kami menyatu. Seketika ia tersenyum kepadaku. Akupun membalas senyumnya yang lugu. Mungkin inilah cara kami berkenalan. Tak ada satupun kata yang mampu mengartikan nama sejati kami berdua. Kata-kata hanyalah hambatan bagi kami yang berbicara melalui hati.
Ku tutup mataku dan sekejap aku telah berdiri sangat dekat dengannya. Ku dengar detak jantungnya yang stabil, tak sedikitpun ia terkejut dengan kecepatanku. Aku kecewa. Lalu dengan lembut ia menyentuh pipiku yang beku dengan tangannya yang hangat. Sebuah citra murni dari kehangatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Lalu iapun berkata
“Wahai orang asing, mengapa kau meninggalkan jendela kehidupanmu?” sejenak ku tenggelam dalam lamunan karena telah mendengar sebuah lagu indah yang ia nyanyikan lewat sebuah pertanyaan.
“Karena kau telah mengusik keberadaanku, kau telah memberikan kehangatan musim semi di tengah musim dinginnya hatiku” jawabku datar. Kembali ia lukiskan senyum manis itu. Namun kali ini ku tak peduli. Aku tak ingin terlalu larut dalam kekecewaan karena ia sama sekali tidak merasa aneh dengan bahasa orang asing sepertiku. Kami berdua larut dalam diam. Tak ada satupun suara tetes hujan yang dapat memecahkan keseriusan kami berdua. Sejak saat itu tatapan kami masih tak berubah. Ku tahu dia menatapku begitu dalam. Dan ia pun tahu aku sedang mencari celah dimana aku dapat menemukan rahasianya.
“kau mengenal Sang Petir ?” ia mulai memecah keheningan
“Aku pernah mendengarnya dari sahabatku Sang Badai.” Jawabku santai seperti tak ada yang aneh dari pertanyaannya .
“ Kau berteman dengan Sang Badai ? yang benar saja. Setahuku Badai adalah musuh yang berbahaya.” Aluna mulai menyebalkan. Seakan ia pernah bertemu dengan Sang Badai yang tak pernah ku ceritakan pada siapapun.
“ Kau sendiri telah seenaknya berteman dengan Sang Petir. Petir yang telah membunuh teman-temanku kemarin petang” jawabku mulai serius
“ Dan Badai telah menghancurkan kota kelahiran ku, tidakkah itu lebih menyakitkan.” Air matanya mengalir bagai hujan di sore itu. Seketika aku melihat sebuah beban yang begitu berat tersirat dalam raut wajahnya. Begitu dalam sehingga aku terjebak dalam rintihan anggunnya.
Baru kali ini aku menyaksikan Aluna menangis. Sangat mempesona namun menyakitkan. Ia adalah seorang gadis yang selalu ceria, dan tak pernah menunjukan kesedihannya. Betapapun beratnya rasa sakit itu. Tak seperti aku, yang terus menyalahkan kehidupan yang bahkan aku pun tak begitu mengerti tentang maknanya. Seketika aku merasa seperti manusia terjahat, yang telah melukai hati kecilnya. Aku menyesal. Tak satupun orang yang berani menyentuhnya. Tapi aku telah melukainya. Dan yang paling parah, sikapnya tak menunjukan ia benci padaku. Yang ada hanyalah gambaran tentang kenangan yang begitu menyakitkan. Diriku semakin terbakar oleh rasa bersalah. Inginku menghampiri Sang Petir, agar ia menyambarku dengan kilatnya.
“Maafkan aku Aluna..!” Sebuah kata yang tak pernah terucap sebelumnya oleh orang sombong sepertiku.
“Tidak, kau tak perlu meminta maaf wahai orang asing. Aku sengaja menceritakannya padamu, karena ku tahu hanya kaulah yang dapat mengerti tentang ku.”
Ku terdiam sejenak memahami senyum paling menyakitkan yang pernah ku lihat.
“ Apa yang telah sahabatku Badai perbuat sehingga kau menangis sedu sedan itu?”
“ Ia telah menghancurkan kota ku saat orang-orang sedang menari-nari di atas rerumputan yang tersakiti.” Jawabnya lirih
Sekilas aku teringat perjumpaanku dengan Sang Badai
“ Maafkan aku tapi bukankah itu pantas untuk mereka ?”
“ Tidak eL, itu egois.”
Sejenak aku tersentak kaget ketika ia mengetahui nama asliku. Namun ia tak peduli dan meneruskan perkataannya.
“Badai tidak hanya menghancurkan kota hina itu. Tapi ia juga membunuh keluargaku yang sedang bermain dengan bunga-bunga di taman, itu sangat menyakitkan, dia harus tahu bahwa tak semua orang seperti mereka yang merusak keseimbangan alam.” Kata Aluna lirih.
Lalu aku menggenggam tangannya dengan erat.
“ Lalu bagaimana caranya kau selamat?” tanyaku.
“ Saat badai menghancurkan kota, aku menangis di bawah rintik hujan seperti saat ini, dan seketika Sang Petir menyambarku dengan sangat cepat. Dia menyelamatkanku dari amukan Sang Badai yang penuh dengan nafsu membunuh. Saat itulah Sang Petir menjadi teman abadi ku.”
Setelah ia menyelesaikan perkataannya, dengan sigap aku memeluknya erat. Mendekapnya dengan dekapan rasa bersalah. Aku sadar, ku telah mengkhianati kebenaran. Dan telah terjebak dalam jurang dendam yang sangat dalam. Air mataku mengalir begitu deras, sederas air hujan yang membasahi tubuh kami berdua. Aku dan Aluna Sang Penyair.
Sang Petir menggelegar di langit dan ku berkata lirih,
“Maafkan aku wahai Aluna, bulan purnama yang slalu menghiasi malam indahku.”
“Sudah kukatakan, kau tak perlu meminta maaf padaku wahai JibrieL, Cahaya hatiku. Kita adalah orang asing. Terasingkan dari kefanaan. Terasingkan dari mereka yang menggenggam erat harta dan melupakan cinta.”
Perlahan hujan terhenti. Senja berganti malam. Sedangkan aku dan Aluna masih berada dalam pelukan cinta. Ku lepas pelukanku dan Ia mengajakku berlari menuju bukit yang tinggi dekat lembah bulan dan bintang. Di sana kami terbaring memandangi langit yang telanjang tanpa penghalang dengan tubuh yang basah kuyup. Ku merasa bebas, sebuah luapan emosi yang selama ini ku nantikan. Dan ku tahu frekuensi getaran jiwanya sudah mulai mereda.
Ku mainkan sebuah gitar tak berdawai. Roman de Amor2). Nuansa klasik yang kita sukai. Aluna memegang tanganku erat. Lewat lagu itu ku persembahkan cerita tentang rasa sakit yang selalu ku keluh kesakan kepada kehidupan. Semoga Tuhan memafkan kesalahanku. Kita melihat langit, terlihat bahwa aurora sedang tertawa melihatku bercinta dengan sang penyair pujaan hati. Di sana ku lihat bulan menampakan kemarahan saat ku usap lembut rambut Aluna.
Aku tak peduli dengan kumpulan komet yang berjatuhan seperti rintik hujan kala senja.
Di bukit itu kita berbicara tentang langit dan cahaya yang selalu bertengkar dengan kegelapan, lalu seketika ia bertanya,
“Mengapa kau mengisolasi diri dalam ketakutan wahai sahabatku eL?”
Aku tersenyum misterius. Perpaduan antara citra kesedihan dengan kebahagiaan yang menyeramkan bersatu padu membentuk pola guratan emosi yang tak satupun orang dapat mengerti. Ku mainkan sebuah melodi klasik bernama fur elise3) dengan tekanan emosi yang telah kurencanakan. Ku lihat dia termenung. Senyumku melebar karena ku tahu, akulah seorang yang asing yang tak pernah tersaingi. Lalu ia berkata,
“Mengapa kau membenci orang-orang itu dan mengapa kau selalu berusaha untuk memusnahkan mereka?” senyumku memudar dengan perlahan, namun mataku tetap setajam samurai dan tetap mengerikan.
Tatapanku tajam namun yang ia lakukan hanyalah menundukan kepala dan menampakan mukanya kembali dengan senyum kedamaian yang lebih misterius dari senyum mengerikanku.
Ku dekatkan bibirku yang beku kearah telinganya yang indah, dan kubisikan sebuah alasan,
“Karena mereka telah mencoba membunuhku secara perlahan, aku benci melihat mereka tersenyum dan ternyata tak ada satu senyumpun yang tertuju padaku, aku benci kepada mereka yang sedang merayakan hari ulang tahun diatas penderitaan oranglain dengan menari-nari diatas bunga-bunga yang sudah mekar dan rerumputan yang tersakiti. Aku menghancurkan mereka karena ku tahu mereka telah menjual harga dirinya dengan murah kepada para penguasa duniawi. Aku benci mendengar detak jantung yang berdegup kencang saat ku tanya siapakah yang telah merusak hutan ini, aku benci pada mereka yang telah mengacaukan jadwal musim hujan di kota ku. Dan alasan terakhir adalah kau, Aluna Sang Penyair, yang hanya bisa ku lihat saat tetes hujan memecah keheningan senja. Yang hanya bisa kutemukan dalam hutan hujan yang tertidur di pulau kesendirian dengan aliran sungainya yang khas penuh riak air tanda tak dalam namun menghanyutkan. Rasa cinta ku padamu melebihi kebencianku pada mereka.” Ku genggam waktu dan takkan kubiarkan ia berputar kembali.
Aluna menatapku takut. Dengan hati-hati nan lembut ia lepaskan genggamanku. Namun waktu tetap tak bisa melepaskan diri dari cengkramanku. Ku lihat Aluna masih berjuang dan tak kunjung menyerah, ia melepaskan jari-jariku satu persatu dari sang waktu yang tersakiti karena telah ku cengkram erat. Seketika kulihat angin kembali berhembus,bunga-bunga dan rerumputan kembali bergoyang dan kumpulan kunang-kunang kembali menari membentuk soatu pola yang tak beraturan. Aluna tersenyum penuh kemenangan.
Sesaat kemudian kurasakan tangannya menjadi dingin. Lalu ia meletakan tangannya tepat di dadaku. Nafasku terengah dan dengan panik ku berkata,
“Apa yang kau lakukan ?”
Kemudian ia menjawab,
“Akan ku dinginkan hatimu yang terbakar penuh dendam dan kebencian dengan cinta dari musim dingin ku.”
Aku mengelak tapi tak bisa. Tubuhku seperti membeku. Sangat dingin, hingga ku tak bisa merasakan apapun.
“Tapi kau takkan bisa meredakan kebencianku pada mereka.” Kataku dengan nafas gemetar kedinginan. Semakin lama semakin terasa beku, amarahku memuncak, ku meraung-raung bagai Serigala Bulan Purnama Merah tanggal 14. Jiwaku berteriak keras, Aluna pun tak berdaya, ia terjatuh. Namun ia segera bangkit dan memegang tanganku erat dan mencium bibirku dengan lembut dan penuh cinta. Sekilas ia berbisik kepadaku, “Aku mencintaimu eL, seberapapun sakitnya engkau, sejauh apapun kau meninggalkan ku, aku akan selalu berada di hatimu. Segelap apapun itu. Karena cahayaku tertimbun dalam gelap dan mengisi kegelapan.”
Saat itu juga aku merasakan romantisasi kesejukan musim hujan dan indahnya kehangatan musim semi disaat yang bersamaan. Ku tahu logika tak pernah berjalan sebagaimana mestinya sejak pertama kali kami bertemu. Aku kehilangan dendam dan kebencianku yang kupendam semenjak ku duduk di sekolah dasar. Namun cintanya adalah harga yang pantas untuk menggantikan kebencianku pada mereka.
Nafasku kembali stabil, ku dengar detak jantungnya pun kembali mengalun bagai sebuah melodi yang indah. Detak jantungnya melambangkan kerumitan sebuah partitur, aliran darahnya melambangkan betapa langkanya arti dari sebuah kehidupan.
Di tengah keheningan kita terdiam seakan baru terjadi perang yang besar. Kami berdua kembali terbaring di atas bukit dekat lembah bulan dan bintang. Ku tatap matanya tajam dan bertanya,
“Siapakah kau sebenarnya ?”
Lagi-lagi ia memegang tangan ku erat.
“Tak bisakah kau mencoba untuk tidak memegang tanganku ketika akan menjawab pertanyaan ku ?” belum terjawab pertanyaan ku yang pertama ku sudah menanyakan hal lainnya.
Dan ia pun menjawab,
“Agar emosi ku yang lemah ini tercampur dengan hasratmu yang mengerikan itu.”
Lalu tanganku yang sebelah kiri memegang tangannya yang menggenggam tangan kananku dan bertanya kembali,
“Siapakah kau sebenarnya ?” genggamannya semakin erat dan ia pun mulai menjawab dengan sebuah pertanyaan
“Haruskah ku menjawabnya ?”
lalu ku jawab datar
“Jawab saja pertanyaanku.”
Semua terdiam, angin berhembus pelan. Dengan nada yang sudah berhasil ku tebak, Aluna menjawab,
“Aku adalah arwah penasaran, aku hidup karena kematianku, aku terkubur dalam gelapnya hatimu, aku adalah sang penyair tanpa kata, dirimu adalah nafas kehidupanku. Akulah Aluna bulan purnama yang hilang, yang kau cari dalam pulau kesendirian.” Ia melepaskan tangannya dari genggamanku dan bangkit berdiri memalingkan mukanya dariku.
“Mengapa kau memalingkan mukamu ?”
“ Karena ku tahu jika kau mengetahui diriku yang sebenarnya, kau akan pergi dariku.” Ku dengar isak tangis. Aluna berkata lirih.
“Aluna… sekarang coba jelaskan seribu pernyataan yang kau ketahui yang akan ku jadikan alasan mengapa ku harus meninggalkanmu.” Kata ku. Aluna hanya bisa diam. Lalu ku lanjutkan perkataanku di bawah naungan sinar bulan purnama.
“Dan saat kau menemukan seribu alasan mengapa ku harus meninggalkanmu, aku hanya akan berkata TIDAK. Tak ada satu pun alasan di dunia ini yang dapat memisahkan kita.” Kataku tegas. Akhirnya ku bahagia melihatnya tak lagi berkata-kata. Ku balikan badannya. Ku tatap matanya dalam. Demi bulan purnama merah tanggal 14 aku berkata,
“ Aku mencintaimu seperti kau mencintaiku apapun rupaku. Serigala, Orang asing, Rasa sakit, atau dewa kematian kah itu. Aku tidak peduli.”
Semua diam kecuali sang waktu yang sedang marah padaku karena sempat ku hentikan. Aluna tersenyum lirih. Air matanya berlinang. Ku tahu itulah air mata bahagia yang sering di bicarakan orang-orang. Sebuah luapan emosi bercitarasa tinggi yang selalu kunantikan. Ia mendekat ke arahku, mengajakku untuk berdansa dengannya. Menari sebuah tarian khas ala Sufi yang sangat ku idolakan Syekh Jalalludin Ar Rumi4). Aku memilihkan lagu Claire de Lune5), tapi ia malah memutar melodi Moonlight6), dan akhirnya kita putuskan untuk menggunakan nyanyian mistik dari langit. Aluna dan JibrieL menari hingga subuh.
Sembilan menit lagi Sang Matahari akan menunjukan batang hidungnya. Aluna menyelesaikan tariannya. Seketika tubuhnya bercahaya. Aku terpesona.
“eL, ini waktunya aku harus pergi.” Katanya kepadaku dengan nada pasrah.
“Haruskah kau pergi kedalam hatiku yang gelap itu sekarang juga?” tanyaku sambil memegang tangannya yang perlahan mulai pudar seiring matahari terbit di ufuk timur.
“ ya, sepertinya musim hujan mulai reda. Dan keceriaan musim semi dengan langit birunya akan menggantikan dinginnya musim hujan di kota mu.”
Kemudian ia mencengkram tangan kehidupan dan tanganku secara bersamaan dan menyatukannya.
“Dengan ini, berjanjilah untuk berbaikan dengan kehidupan mu wahai JibrieL orang asing dari negeri hujan, karena kehidupan adalah pemberian Tuhan Semesta Alam. Kelak langit yang biru akan menuntunmu untuk menemukan cahaya. Temukanlah batas antara kenyataan dan mimpi. Hubungkanlah keduanya dengan teori relativitas mu. Cintailah Cahaya kehidupan, Nabi bagi seluruh alam. Janganlah silau dengan cahaya matahari dunia, karena itu semua hanyalah palsu. Temukan cahaya sejatimu. Seperti aku yang tertimbun dalam gelap dan mengisi kegelapan. Baiklah sepertinya cahaya matahari sudah mulai menyilaukan, ini waktunya untuk pergi. Hapus air matamu eL. Perpisahan adalah perjumpaan sejati bagi orang asing seperti kita.”
Cahaya matahari semakin lama semakin terang, dan semakin menyamarkan cahaya Aluna. Sekilas aku melihat senyum Aluna yang terakhir. Kini senyum itu penuh kebahagiaan dan harapan. Aku hanya bisa diam dan membalas senyum kepadanya. Seiring dengan pancaran sinar matahari yang semakin terang, figure Aluna mulai memudar seperti berkamuflase. Saat itu aku yakin dia tidak pergi. Dia hanya mencoba untuk masuk ke dalam lubuk hati ku, karena disitulah tempat ia berasal. Selamat Jalan Aluna, Bulan purnama yang hilang.
Ku sadar sang malam telah pergi begitu saja. Bulan purnama merekam semua kisahku dengan Aluna. Dan kini tinggalah aku sendiri, di pagi yang cerah, di atas bukit dekat lembah bulan bintang yang telah berubah hijau. Aku berdiri tegak menyongsong matahari pukul sembilan. Ku lihat langit merona biru. Tak ada lagi hitam kelabu. Aroma angin pun berubah. Musim hujan di Februari telah pergi.
Ku melangkah cepat. Sekejap ku telah berada di balik jendela rahasiaku. Batas kehidupan orang asing sepertiku. Tak satupun kata yang ku ucapkan. Penyair itu telah merebut lisanku. Kemudian ku tulis perkataan terakhir Aluna, dan ku coba untuk memahaminya. Haruskah ku menunggu musim hujan berikutnya ?. Sementara itu di luar sana. Di bawah naungan langit yang biru ku lihat sepasang laki-laki dan perempuan yang sedang menari-nari di atas panggung keceriaan pagi. Ku tersenyum penuh arti. Merekalah Orang Asing dari Negeri Musim Semi. J
TAMAT

Catatan : 1) Artinya :”Aku akan selalu gelisah sebelum aku tahu arti kehidupan yang sebenarnya dan sebelum aku menemukan cahaya sejati dalam lubuk hatiku yang paling dalam, bahkan jika kebenaran akan lenyap dan akan selalu menjauh dariku.”
2) Salah satu lagu klasik yang biasa dimainkan dengan gitar.
3) Salah satu lagu klasik karangan Ludwig Van Beethoven
4) Salah satu Sufi yang terkenal dengan tarian mistiknya.
5) Salah satu lagu klasik karangan Debussy pada abad ke -18
6) Artinya : Cahaya bulan.
0 komentar:
Posting Komentar