CERPEN – KETIKA PURNAMA

Label: ,



Malam yang cerah bertabur bintang. Udara dingin pegunungan masih menusuk tubuh hingga ke tulang. Sedangkan keringat masih membasahi sebagian wajah seorang gadis bermata sayu yang terlihat kelelahan, mencoba menghilangkan ketegangan di balik bulan purnama. Sebuah bola besar bercahaya putih bersih menggantung di langit yang selama ini selalu membuatnya tenang.
            Namun tidak untuk malam ini. Purnama yang selalu ia puja kini telah menusuknya dari belakang. Memberikan ketakutan yang teramat sangat karena sinarnya telah ditelan oleh kesunyian.
            Ninda, nama gadis itu. Si pemilik wajah lugu namun bermental baja. Atas nama keberanian dan cinta ia masuk dalam kelompok Mahasiswa Pencinta Alam tahun lalu. Sudah tiga gunung yang ia daki dan lima hutan yang ia jelajahi. Dan hampir semua ia taklukan dengan sempurna. Berkat kerjasama tim dan tekad semangat yang ia miliki.
            Namun berbeda dengan kali ini. Ninda terpisah dari kelompoknya. Kini ia sendirian meratapi dinginnya malam. Merasakan deru angin yang sedikit pelan namun membawa aura ketakutan yang entah dari mana aura itu berasal.
            Ninda terduduk kaku dan bersandar dibalik sebuah batu besar, di sebuah tanah lapang yang cukup terbuka. Tubuhnya ia balut dengan selimut dan semua pakaian yang ia bawa untuk mengusir rasa dingin yang sebenarnya enggan untuk pergi meski telah diusir. Mulutnya kini tak henti-hentinya berkomat-kamit seperti hendak memanjatkan do’a. Sementara itu di tempat lain, teman-temannya sedang kebingungan mencari Ninda yang tiba-tiba hilang.
            “Ninda… Ninda… ” Ray sang ketua regu berteriak kencang sekuat tenaga.
            “Ninda… Ninda kamu di mana ?” Teman-temannya yang lain tak mau kalah.
            “ Argh.. Shit ! Ini semua gara-gara elo Ray. Udah gua bilang, jangan pake main petak umpet segala di tempat kaya gini. Pokoknya, kalo sampe terjadi sesuatu ama Ninda, lu yang pertama gua cari Ray.” Kata Joni kesal.
            “Udahlah Jon, ini bukan murni kesalahan Ray. Lagian main petak umpet kan udah jadi tradisi kita setiap penjelajahan hutan. Dan selama ini ga pernah ada orang yang sampe kesasar, karena aturan yang ngelarang semua orang untuk sembunyi di tempat yang belum ia kenal. Jadi, mana Ray tahu kalo sekarang bakalan kayak gini.” Ujar Ratna mencoba untuk menenangkan hati Joni.
            Ray hanya bisa diam. Berfikir, bahwa sedikit banyak ini memang kesalahannya. Sedangkan Joni masih menatap Ray penuh rasa kebencian. Joni memang orang yang temperamental, ditambah ia memang telah menyukai Ninda sejak pertama kali masuk kuliah. Tapi sayang, cintanya tak pernah mendapat balasan dari Ninda. Tapi sikap Joni pada Ninda seperti sikap seorang lelaki kepada pacarnya. Sebenarnya Ninda sering merasa risih. Tapi Ninda mencoba untuk menjaga perasaan Joni. Walaupun terkadang Ninda sering membentak Joni jika sikap Joni sudah mulai keterlaluan.

***
            “Graughh.. graughh.. aauuu” Tiba – tiba terdengar lolongan serigala entah dari mana asalnya.
            Tubuh Ninda semakin bergetar. Matanya semakin tajam melihat- lihat sekitar. Dalam kesunyian, hanya suara helaan nafasnya saja yang terdengar. Seketika air mata tergenang di pelupuk matanya. Bercampur baur bersama peluh yang sedari tadi belum ia usap sedikitpun.
            Suara gemerisik pada semak-semak ikut memecah keheningan malam. Dengan sigap Ninda berdiri. Mencondongkan badan dan menyipitkan matanya, mengawasi semak-semak tak jauh dari tempatnya berdiri yang sedari tadi mengusik indra pendengarannya. Tanpa lampu sorot, ini akan benar-benar menyulitkan. Untung saja saat itu sedang terang bulan.
            Dengan langkah berani dan pisau ditangannya ia berjalan ke arah semak-semak itu. Sambil berjalan, ia menelusuri benaknya. Mencari berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Berusaha sekuat hati untuk berfikir positif, meski pada akhirnya pikiran negatifnya yang akan menang.
Sementara itu di balik kumpulan awan stratus yang tipis, Sang Purnama seperti sedang mengintai seluruh gerak-gerik yang dilakukan oleh Ninda. Sedangkan langkahnya semakin pasti meski disertai dengan ketegangan.
Ninda berdiri tepat satu meter di depan semak-semak mencurigakan itu.
“ Siapa di sana ?” Pertanyaan bodoh keluar begitu saja dari mulut Ninda.
Ninda semakin mendekat dengan pisau tajam di tangan kanannya teracung ke depan. Detik-detik yang berlalu seperti memancarkan seribu situasi menegangkan. Dan tiba-tiba…
Sreek.. Sesuatu keluar dengan sangat cepat dari arah semak-semak.
“Argghh.. Damn it !” teriaknya kasar sambil melompat menghindari sesuatu yang bergerak cepat itu.
“ Dasar kelinci sialan. Gue kira apa, huh !” Suara Ninda sedikit bergetar disertai helaan nafas lega.
Tiba-tiba sekelebat bayangan berloncatan dari satu pohon ke pohon lain. kontan, itu langsung menarik perhatian Ninda. Rasa lega yang baru saja ia dapatkan hilang seketika hingga tak berbekas. Nafasnya kembali memburu. Sekelebat bayangan itu bergerak sangat cepat. Terkadang sampai menggugurkan dedaunan dan mematahkan beberapa ranting di pepohonan itu.
“Astaga, makhluk apa itu ?” kata Ninda dalam hati.
Bayangan-bayangan yang berlompatan itu  kini mendarat tepat di sekeliling Ninda. Kini ada tiga sosok makhluk tinggi besar berbentuk siluet yang mengelilingi Ninda. Ninda kaget bukan main.
“Si..Siapa kalian ?” Tanya Ninda sambil mengacungkan pisaunya ke salah satu siluet itu.
Yang terjadi kemudian hanyalah sepi.  Lalu terdengar beberapa suara aneh yang berasal dari ketiga makhluk mengerikan itu. Seperti sebuah bisikan. Sangat halus, sebegitu halusnya hingga nyaris menipu Ninda.
“Bagaimana ..?
“Bunuh saja …”
“Kita santap ramai-ramai..”
“ Ya..”
Begitulah yang tertangkap ditelinga Ninda. Padahal begitu banyak yang terucap dari ketiga sosok itu tapi tidak begitu jelas karena hanya berbentuk bisikan yang sangat lembut.
“Siapa kalian ?” tanyanya sekali lagi dengan sedikit gemetar.
Kemudian ketiga siluet itu semakin mendekat disertai geraman dan raungan. Moncong yang besar disertai dengan taring yang tajam terlihat semakin jelas dari jarak tak begitu jauh dari Ninda berdiri. Terlihat telinganya teracung ke atas, matanya menyala merah. Sedangkan kepalanya di penuhi bulu-bulu yang sangat lebat. Kini jelaslah bahwa ketiga makhluk itu adalah werewolf , Serigala jadi-jadian yang ia kira hanya ada di film-film dan komik-komik saja.
“ Jangan mendekat ! “ Ancam Ninda meski ia tahu bahwa itu takkan berguna.
Ninda melangkah mundur. Perlahan tapi pasti. Seketika ia berbalik arah dan dengan sisa tenaga yang ia miliki Ninda berlari sekencang yang ia bisa. Ninda menoleh kebelakang. Ketiga serigala jadi-jadian itu masih diam tak sedikitpun terlihat bahwa mereka akan mengejar Ninda. Dari kejauhan terpancar sorot mata mereka yang berwarna merah bersinar.
Ninda tidak peduli. ia harus berlari. Walaupun sebenarnya ia tak tahu kemanakah kakinya akan terus melangkah. Yang terpenting baginya sekarang adalah pergi sejauh mungkin dari ketiga makhluk mengerikan itu.
***
            Aliran nafas Ninda semakin tak karuan. Langkahnya pun semakin gontai. Akhirnya ia menepi di bawah pepohonan yang rindang. Walau keringat membasahi sekujur tubuhnya tapi Ninda sama sekali tak merasa haus. Rasa hausnya seperti disamarkan oleh ketakutan yang mencekam.
            Ninda duduk dan bersandar pada sebuah pohon tua. Ia tekuk kedua kakinya dan tangannya memegang erat lutut yang kini sejajar dengan kepalanya. Kemudian ia tangkupkan kepalanya di sela-sela kedua kakinya itu. Nafasnya memburu dan air matanya mengucur deras hingga membasahi wajahnya. Ninda menangis tersedu-sedu.
 Sekilas teringat wajah ibu dan ayahnya. Ia menyesal tak mengindahkan perkataan orang tuanya untuk tidak pergi menjelajah hutan bulan ini. Seharusnya sekarang ia di rumah bersama kedua orang tua dan adik-adiknya dan menonton acara televisi favorit keluarga. Tapi sepertinya kini dia harus melupakan itu semua. Karena kemungkinan ia selamat dan keluar dari hutan ini begitu kecil, ditambah kehadiran ketiga makhluk jadi-jadian itu. Rasanya ia takkan bisa selamat, begitu di pikirannya.
“Teruslah berpikir negatif, dasar pecundang !!!” Tiba-tiba perkataan kakeknya yang tak lain Guru silatnya itu menggema di otaknya. Kini ia merasa otaknya seperti disengat lebah. Ia sadar, ini bukan saatnya untuk menyerah. Masih banyak yang belum ia selesaikan. Bilapun mati, Ninda ingin mati sebagai pemenang, bukan pecundang.
Sejenak ia hentikan tangisnya. Ia usap seluruh air mata dari wajahnya. Kemudian ia pejamkan matanya mencoba untuk mencari masa-masa indah dalam ingatnnya. Wajah ayahnyalah yang muncul pertama kali, menggendongnya dan menciumnya penuh kehangatan saat ia berumur lima tahun. Lalu ia teringat saat ibunya sedang memasak di dapur yang sering ia gunakan untuk bermain dan menggoda ibunya. Teman-temannya pun muncul dalam bayangannya, mereka sedang tertawa menikmati guyonan lucu ala Pak Kadi, tukang kebun di rumahnya.
Beribu-ribu kenangan indah terlintas di pikirannya. Seperti sejuta kilatan cahaya yang memberikannya energi untuk tetap berdiri. Dari seribu serpihan kenangan itu, ada satu yang membuatnya semakin kuat. Rasa nyaman dan hangat pun terasa meski sebenarnya udara dingin sangat menyiksa raga.
Kini kilatan cahaya dalam otaknya itu berubah menjadi sesosok pria misterius di kampusnya. Satu-satunya pria yang tak pernah tersenyum padanya meski ia terus memandang wajahnya. Si pemilik sorot mata tajam dengan pupil mata hitam pekat. Seorang pria yang mampu meluluhkan hati Ninda sejak pertama kali bertemu.
“Bima, andai kau ada di sini.” Ujar Ninda dengan penuh pengharapan sambil membayangkan seseorang yang sangat dikaguminya itu.
Ninda beranjak dari duduknya. Seperti melihat cahaya di ujung jalannya. Namun tak lama setelah ia berdiri. Sekelebat bayangan muncul lagi dengan aroma khas daun mint yang sepertinya jarang ia baui di tempat ini. Samakin lama bau mint ini semakin menyengat diikuti oleh sekelebat bayangan lain yang loncat kesana kemari menimbulkan kegaduhan yang sangat tidak diharapkan oleh Ninda.
Ketiga sosok berbentuk siluet itu datang lagi, namun kini hanya berbentuk tubuh manusia biasa. Mata mereka sesekali mengilat merah lalu kembali hitam pekat seperti hanya bermaksud menunjukan kengerian kosong pada Ninda yang sudah kebal ini.
Semakin lama bayangan itu semakin mendekat. Ninda bersiap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.
“ Siapa kalian ?” kata Ninda memberanikan diri.
“Haha tenanglah gadis manis.” Kata salah satu dari mereka sambil menjulur-julurkan lidah.
Sinar bulan tertutup awan tebal sehingga suasana semakin menjadi semakin gelap.
“Kemarilah makananku, eh maksudku tuan putri.” Sosok laki-laki yang paling muda mendekati Ninda.
“Ssp… sudah lama kita tak merasakan nikmatnya daging manusia.” Ujar yang lain dengan air liur menetes dari mulutnya. Menjijikan.
“Jangan mendekat atau ku bunuh kalian !” kata Ninda tegas.
“Hahaha…” Suara tawa dari ketiga lelaki bejat itu membahana, memecah keheningan hutan tepat di kaki Gunung Bromo itu.
Lalu satu di antara mereka mendekat mencoba menerkam Ninda. Ninda kaget bukan main. Tapi dengan sigap ia menendang lelaki itu dengan kaki bajanya. Lelaki itu hanya terhenti dan tertawa kemudian. Tanda serangan Ninda tak berarti sama sekali.
“Kau bercanda ?” lanjut lelaki itu kemudian.
Ninda menyadari tendangannya barusan memang lemah, karena kaget menerima serangan. Sejurus kemudian ia mulai memasang kuda-kuda kuat sekali sambil mencoba mengingat-ingat semua jurus silat dengan tenaga dalam yang ia pelajari di pondok kakeknya.
Seketika kedua lelaki yang lain menyerang secara bersamaan. Ninda melakukan tendangan memutar dan berhasil mencetak logo telapak sepatunya di muka kedua lelaki itu.
Lalu mereka saling serang dan berjibaku satu sama lain. Ninda melawan tiga penyamun berkekuatan besar. Pertempuran yang memang sangat tidak mungkin dikatakan seimbang. Tapi dengan tekad mempertahankan diri yang kuat dan tenaga dalam yang ia miliki, membuatnya berhasil bertahan selama lebih dari lima menit.
***
Bruuuk.
Tubuh Ninda terlempar sejauh tiga meter akibat serangan salah satu dari tiga orang misterius itu.
Bulan purnama kembali menampakkan sinarnya. Bulat cemerlang, bagai fenomena supermoon yang ia lihat tiga bulan yang lalu.
“Stop guys, sudah cukup kita bermain dengan makanan kita.”
 Aura kengerian semakin terasa ketika kedua mata Ninda melihat secara langsung proses perubahan wujud dari manusia menjadi werewolf. Pertama tubuh mereka bergetar hebat saat kedua mata mereka melihat bulan purnama secara langsung. Lalu tumbuh bulu, moncong taring, telinga. Semua terjadi begitu cepat. Hingga beberapa detik kemudian Ninda sadar kini ia sedang menghadapi tiga buah makhluk paling mengerikan yang pernah ia temui seumur hidupnya.
“Aaarggg…!” Sergap salah satu dari mereka.
Begitu menakutkan. Hingga senyap seketika. Adegan slowmotion pun dimulai. Ninda melotot melihat keatas. Seekor werewolf hendak menerkamnya dan memamerkan taring besar nan menjijikan itu. Tamatlah riwayatku, begitu pikirnya. Harapan telah sirna maka terpejamlah kedua matanya. Menunggu maut yang terus melambai-lambai lewat taring sang serigala.
 “Grauugghh…!” raungan yang lebih besar terdengar bersamaan dengan bunyi tubrukan yang amat memekakan telinga.
Apa yang sebenarnya terjadi, Ninda membuka mata. Kaget ia melihat serigala tak jadi menerkamnya. Bahkan ia diserang oleh temannya sendiri. Ia lihat sekitar, Serigala itu bertambah satu ekor. Dua werewolf yang tadi hanya menunggu sekarang tampak geram dan menyerang serigala terbesar, serigala yang telah menyelamatkan Ninda.
Baru kali ini ia saksikan pertarungan antar siluman legendaris sepanjang masa. Baru sekejap ketiga penyamun itu sudah mutlak di kalahkan Sang Serigala besar.
 Serigala itu berdiri membelakangi Ninda. Ninda masih gugup dengan apa yang baru saja dilihatnya. Kemudian Werewolf  itu berbalik, berjalan pelan ke arah Ninda dan berubah wujud menjadi manusia.
            “Bima ..” Ujar Ninda tercekat. Yang ia lakukan hanyalah menutup mulutnya dengan tangan, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dan Bima masih menatapnya misterius.
            “Sudahlah jangan banyak bicara, sekarang ikut aku !” Ujarnya sambil menarik tangan Ninda. Seketika ia berubah menjadi serigala dan menggendong Ninda menuju puncak bukit.
            “Mau kemana kita ?”
            “ Kita harus pergi jauh, serigala yang lain akan mudah melacak kita, jika kita tidak segera pergi ? “ Suara Bima terdengar berat.
***
Bima, Purnama Yang Hilang ...
            Suasana malam ini seperti ribuan nuansa keindahan yang bercampur menjadi satu. Meski rasa heran masih menggelayuti pikirannya, Ninda merasa yakin bahwa Bima lah cahaya terang di ujung jalan itu. Bima sang pangeran hatinya kini sudah ada di hadapannya. Bima menatap Ninda tajam. Seperti hendak menceritakan semua alasan, mengapa ini semua bisa terjadi.
            Sampailah mereka di sebuah bukit yang cukup tinggi. Cukup tinggi untuk berbaring diatasnya dan menatap langit luas yang penuh dengan hiasan bintang. Tak ada satupuun pepohonan yang menghalangi pandangan mereka. Dan semua hal romantispun terjadi, tak banyak kata yang mereka katakan. Tak banyak suara yang mereka timbulkan, hanya cinta yng bisa menerjemahkan bahasa mereka. Ku harap kau tahu maksudku.
            Dan kecupan indah itupun berakhir.
            “Apa yang lucu ?” Kata Bima saat ia lihat Ninda hanya senyum-senyum sendiri.
            “Ga ada ko, aku cuma ngerasa ga percaya aja, baru kali ini aku dapet ciuman seromantis ini dari manusia serigala. Haha.” Ninda masih tertawa.
            “Jadi kamu ga suka ?” Bima tampak murung. Murungnya lebih seram dari senyumnya.
             “Ga ko, aku seneng banget kamu di sini. Walaupun kita baru ketemu sekarang, tapi aku ngerasa udah lama kenal sama kamu.”
            “Ya, kiat memang sudah lama saling kenal.” Kata Bima misterius.
            “Maksud kamu ?” Ninda tampak aneh.
            “Seharusnya aku yang heran, kenapa kamu bisa langsung percaya sama aku ? Aku bisa saja membunuhmu saat ini juga.”
            “Aku percaya sama kamu. Aku sayang sama kamu.” Ninda sudah terlalu lelah untuk mengatakkan hal itu, tapi tetap saja Bima bisa mendengarnya.
            “Jangan terlalu cepat ambil keputusan. Sekarang tidurlah, besok aku antar kamu sampai camp.”
            “Temani aku.” Kata Ninda pelan sambil mempererat pelukannya dengan Bima.
            Sekali lagi Bima mengecup mesra kening ninda yang sudah terlihat sangat lusuh oleh keringat. Dan Ninda pun tidur lelap, bersiap untuk menghadapi mimpi terindah yang pernah ia singgahi. Kelak Ninda akan tahu bahwa sebenarnya Bima sudah meninggal tiga tahun lalu akibat kecelakaan ketika hendak menjelajahi hutan. Bima yang saat ini melindunginya bukanlah siapa-siapa, bukan manusia, roh halus, ataupun werewolf. Bima hanyalah proyeksi cintanya yang mungkin takkan pernah bisa ia miliki selamanya.






Biodata Penulis
Gumilar Prastio lahir di Karawang, 03 Mei 1993. Saat ini ia berdomisili di Kota Malang. Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris di Universitas Brawijaya Malang ini hobi berpetualang dan menulis. Sudah menulis beberapa cerpen dan puisi, tapi belum ada satupun yang terpublikasi. Sekarang ini aktif menimba ilmu kepenulisan di FPKM Klub Penulis Kota Malang. Penulis dapat dihubungi di e-mail: prastiogumilar@gmail.com atau kunjungi Fbnya, Gumilar Prastio. Contact: 08997249691.



           
           
           
           

           
             
           


0 komentar:

Posting Komentar