Betapa malam sangat berharga ketika kau dekap mesra kerinduan. Mendekapnya dengan dekapan kasih seorang ibu. Lalu menyanyikannya lagu indah masa-masa silam.
Oh Kerinduanku...
Biarkan aku terbang jauh, dengan sayap yang telah kita hias bersama...
Oh Kekasihku...
Biarkan aku mengajakmu berlayar, melintasi pagi, siang, juga malam.
Menyaksikan cinta, bintang dan musim...
Oh kegelisahan...
Tinggalkan aku, menarilah dengan ketakutanku yang sangat mencintaimu... tinggalkan aku, sayangilah dirinya.
Gelap pun terbenam. Embun telah menari-nari di pelataran pagi. Matahari tersenyum, senyumnya pahit karena telah di benci pagi. Aku bertanya,
“Dimanakah hati ini kau sembunyikan wahai pagi putri malam ?” Suaraku parau.
“Tinggalah, aku takkan menghianati cintamu.” Katanya tulus.
Aku bangkit dari keterdudukanku. Aku menantangnya seperti menantang Sang Bada yang telah ku taklukkan beratus-ratus tahun yang lalu, waktu yang cukup singkat untuk mengupas kulit apel.
“Wahai pagi, jika kau mencintaiku, maka kembalikan kerinduanku, aku lah pemilik hati itu.”
“Tidak, aku telah menunggumu sejak zaman azali, kenapa tak coba kau mengerti perasaanku.” Lirih rendah nada suaranya.
Perlahan gerimis datang. Di pagi seperti ini gerimis datang membawa aura sendu, menyedihkan, memilukan. Rintiknya lambat laun menjadi hujan. Pagi telah menangis, menyisakkan air mata yang akan merusak kota tropisku.
“Bisakah kau berhenti menangis ?” Pintaku padanya.
“Tanya saja pada langit, aku tak mengerti bahasa Sang Pembenci.”
Aku telah kalah, kalah oleh pilu yang direkayasa pagi. Pagi tetaplah pagi, ingin sekali kukatakan padanya sungguh aku lebih mencintai malam ketimbang dirinya yang semuda telur angsa.
Aku sudah jera karena mendua. Tidak mungkin lagi aku menjalin kasih dengan Pagi yang jelas-jelas Putri kesayangan Ratu Malam, istri pertamaku. Putri Senja telah membenciku selamanya karena ia tahu aku telah bercinta dengan ibunya, lalu ibunya membenciku karena ia tahu aku mendua dengan Putri Senja yang buta. Percintaan memang selalu membawa prahara. Andai cinta tidak ada....
Matahari, Bulan dan Bintang. Semua menghujatku, menguliti semua kenangan manis yang kumiliki. Dan tibalah aku pada hari ini, di hadapan Pagi, elemen terakhir yang menyembunyikan satu kenangan manis, Satu Yang Terlarang.
Satu yang terlarang ia sembunyikan di balik keceriaan embun.
“Pagi... aku tidak mungkin mencintaimu, jadi kembalikan semua kenangan indahku.” Ujarku tegas.
Pagi tetap menangis, kini tangisnya disertai badai. Bukan, itu bukanlah Sang Badai, ini hanyalah badai kesedihan yang diciptakan pagi. Aku merenung, berfikir seribu kali lebih keras agar Pagi mengembalikan Satu Yang Terlarang.
“Aku mencintaimu.” Kataku luruh.
Pagi tersenyum, matahari tertawa.
Pagi : Terbanglah...
Aku : Aku tak memiliki sayap.
Pagi : Kau memang tidak, tapi hatimu memilikinya.
Akupun terbang dengan hatiku.
Langit terlihat sangat indah jika kau sedang terbang, rasakanlah...
Deru angin...
Kehangatan...
Kebebasan...
“Dimanakah kenanganku itu ?” tanyaku dengan hati tenang.
Lalu Pagi memberiku setetes air.
“Inilah tetes terakhir air mata ibumu, ia menitipkan ini padaku, seperti ia menitipkan dirimu pada Sang Malam.”
Air mataku luruh seketika, “Ibu aku merindukanmu...”
waduh, saya ga bisa komentar apa apa gan, cuma menikmati apa yang agan tulis aja. bagus, melo banget.
sekedar lewat, tangung aja ga koment. yaud, tapi kata katanya asik ko. satu lagi klo boleh memberikan masukan, sepertinya slot komentnya perlu di perbaiki, soalnya kita susah nyari capcaynya. ga bisa di scrol. klo perlu di ilangin aj, toh masih baru ini, ntar klo ud banyak yang koment baru di kasih capcay lagi. ok, tenkyu