CERPEN – SEJUMPUT BULU-BULU KECIL

Label: ,


Oleh : Gumilar Prastio

Sejumput bulu-bulu kecil, meliuk-liuk mesra. Menari indah di atas altar kebekuan senja. Menantiku setia di atas pangkuan sang mimpi, menatapku dalam, sambil meraba halus kepingan hati yang ku tinggalkan tadi siang. Cinta memang seperti itu, hanya bisa menggores luka tanpa mau memberi bahagia setelahnya. Hah, omong kosong, percaya pada cinta sama saja seperti hidup dalam kesia-siaan, penuh kepalsuan, dinamika hati yang memusingkan, rumit seperti tatapan keji sang bidadari. Ramah tapi penuh kebencian. Dan demi sejumput bulu-bulu kecil yang masih membelai mesra, aku terbangun dengan luka hati yang ternyata sudah bernanah, menjijikan, sampai-sampai tak ada satu wanitapun yang ku cintai mau menyentuhnya, mengobatinya dengan kecupan keindahan walau hanya sesaat.

Inilah aku, dengan segala kerumitanku, berusaha memahami arti dari sejumput bulu-bulu kecil yang sedari tadi mengusikku, menelantarkanku dalam rimba kebingungan. Darimanakah mereka berasal ? Dari hati ?, atau hanya ilusi sesaat yang memabukan. Demi Tuhan, ini benar-benar menjijikan. Tatapanku masih kosong, sedangkan alam bawah sadarku dengan teganya menggerakan tanganku untuk memungut sehelai dari sejumput bulu-bulu itu. Benar-benar tidak manusiawi, tapi memang itulah yang selalu alam bawah sadar lakukan, menentang logika, menjerat imajinasi dan tak mau jauh dari resiko terbesar yang berbanding lurus dengan hasil yang sering kita sebut, ketidakmungkinan.

Kekosongan perlahan beriringan pergi, berganti dengan kesadaran yang masih redup eksistensinya. Pintu kamarpun perlahan terbuka, decitannya hampir membuatku gila. Tiba-tiba temanku menyembulkan kepalanya seraya menatap aneh kepadaku.

“Ngapain lu cuy ?” katanya sedikit bingung.
“Ga apa-apa.” Kataku datar.
“Oh iya, gue boleh nginep di sini ga malem ini ? Kamar gue baru selesai dicat, masih bau.”
“Oh, ya udah, lu sementara tinggal di sini aja dulu.”
Suasana hening seketika. Temanku menyenderkan punggungnya ke tembok yang terasa dingin itu. Sedangkan aku masih terbaring kaku di atas kasurku yang tipis ini, masih menganalisis benda asing yang sedari tadi mengganggu kenyamananku.
“hmm Yo, sebenernya lu kenapa sih ?” Temanku bingung. Seperti prihatin melihatku yang sedang hancur hatinya.
“Emang gue kenapa ? biasa aja tuh.” Masih ku jawab datar.
“Dih, apaan tuh yang lu pegang ?” katanya sambil mendekatkan pandangan ke arah sehelai bulu yang sedari tadi ku pilin dan ku putar-putar.
“Nah itu dia, gue juga masih bingung sama benda ini.” Kataku sambil mengerenyitkan dahi.
“Jangan- jangan !?” Kami seperti terkejut akan satu hal.
“Idiih, lu jorok banget si Yo ! Mana ada banyak lagi di atas kasur lu. Kalo gitu gue ogah deh tinggal di kamar lu.” Kata temanku jijik sambil berlari ketakutan.
“Hei mau kemana ?” kataku terlambat.

Temanku pergi entah kemana. Seperti sudah sadar dari halusinasi, ku lempar benda menjijikan itu dari tanganku. Rasa sepi tiba-tiba saja menyergapku. Seharusnya aku tak membuat temanku jijik. Aku ingin bercerita banyak hal tentang rasa sakitku ini padanya, berharap luka yang ternyata sudah membusuk ini hilang sedikit rasa sakitnya. Tapi sepertinya sudah terlambat, terpaksa harus ku pendam rasa sakit ini semalaman penuh, atau mungkin lebih.

Tadi siang, aku seperti mengalami mimpi buruk. Perasaanku seperti seorang bayi kecil yang terlindas kereta api, remuk , berceceran, kecelakaan yang sangat sadis dan memilukan hati banyak orang. Hidup, andai kau tak serumit kejadian tadi siang.
“Kita mau kemana lagi ?” kataku antusias.
“Hmm Yo, sebenernya tujuanku ngajak jalan hari ini ada sesuatu yang penting yang harus kita bicarakan.” Kata Nisa dengan sedikit nada keragu-raguan.
“Penting ? Apa ? cerita aja.” Kataku masih berusaha tersenyum.
“hmm kayaknya ini adalah hari terakhir kita jalan. Kita harus putus.”
Deg, jantungku seperti berhenti berdetak, menunggu dokter mengejutkannya kembali dengan alat yang bahkan aku belum tahu namanya. Gelombang besar tsunami, gempa bumi dan angin puyuh seperti datang secara serempak dan tiba-tiba.
“Ke..kenapa ?” Kataku gemetar sambil menahan tangis karena tak ingin di anggap cengeng.
“Aku ngerasa kita udah ga cocok. Sekali lagi maaf.” Nisa pergi begitu saja, meninggalkan kata maaf yang sebenarnya belum tentu aku terima.

Aku berdiri mematung. Melihat keramaian yang ternyata sepi. Melihat punggungnya yang semakin lama semakin menjauh. Tiba-tiba saja aku terkagetkan dengan suara decitan rem sebuah mobil bermerek Toyota Fortuner. Dia berhenti tepat di sebelah Nisa. Nisa seperti sudah lama mengenal mobil itu, kemudian iapun bercakap-cakap dengan si empunya mobil yang tidak lain ternyata kaka kelasku sendiri, mereka terlihat akrab dan akhirnya Nisa pun lantas menaiki mobil besar itu. Ada apa ini ? mungkinkah itu pacar barunya ? dari situlah aku sadar bahwa aku telah terkhianati. Maka semakin sepilah duniaku yang tadinya sedikit ramai.
Begitulah cara cinta membuat luka hati yang sekarang semakin tidak jelas bentuknya. Ku lihat wajahku di cermin, berantakan, aku tak yakin orang tuaku ingin melahirkan anak sepertiku. Aku benar-benar hancur sehancur-hancurnya. Menurut sebagian orang, mungkin aku terlalu berlebihan, tapi aku berharap mereka yang bicara seperti itu bakal merasakan bagaimana rasanya terkhianati. Putus dengan pacar memang biasa, tapi alasan yang mendasari peristiwa putus itu yang membuat kita sakit. Kesal, kecewa, marah, cinta dan dendam campur aduk menjadi satu.

Perlahan kukayuh kembali perahu kehidupanku yang sudah penuh lubang ini. Aku tak sudi membiarkannya terus tergenang air dan akhirnya tenggelam. Aku harus lanjutkan hidup, aku harus lanjutkan dendam itu. Wanita jaman sekarang sudah berubah jadi setan, hanya bentuknya saja yang seperti bidadari, meski ada juga yang bentuknya seperti setan tapi hatinya seperti bidadari. Tapi wanita seperti itu sedikit jumlahnya, apa lagi kalau yang hati dan tampangnya seperti bidadari, mencarinya seperti mencari jarum kecil ditumpukan jarum besar. Tapi sekali lagi aku tidak peduli, aku ingin makan. Peristiwa tadi siang juga peristiwa sejumput bulu-bulu kecil itu telah membuatku lapar.

Langkahku tersendat-sendat, rasa malu dan kurang percaya diri mengusikku. Aku yakin sedari tadi para perempuan tukang gosip itu sedang membicarakanku dan membuat lelucun tentang diriku. Mereka benar-benar tidak tahu etika. Berbisik sambil menatap orang yang sedang ia bicarakan adalah hal yang paling tida sopan menurutku. Sial, dengan ini perjalananku menuju rumah makan semakin terasa jauh. Sebenarnya apa yang mereka tertawakan dariku ? Apa ada yang salah dari penampilanku ? yang jelas bergosip adalah perilaku yang sangat tidak terpuji.

“Bu, sayur sop sama daging ayam satu ya ?” aku memesan makanan kepada ibu penjaga rumah makan itu.
“Minumnya apa mas ?” Tawar Ibu itu.
“Air teh aja Bu.”
“Ok.” Kata Ibu itu sambil cekatan mengurusi pelanggan yang lain.

Aku menunggu dengan setia. Tak ada tanda –tanda kalau orang di sekelilingku sedang memperhatikanku. Tak tahu kenapa aku merasa aman. Ku ambil koran, dan ku baca beberapa berita terbaru, seperti biasa, semua berisi kejahatan dan hal-hal buruk tentang Indonesia. Ada juga sebagian berita yang menjelaskan tentang peristiwa bunuh diri seorang remaja putri yang karena dikhianati oleh pasangannya, aku hanya bisa tertawa geli dan mengumpat dalam hati, dasar bodoh.

“Ini mas, silahkan dinikmati.” Pelayan cantik itu menyodorkan pesananku.
“Terima kasih mba.” Kataku sambil tersenyum.
Sebelum menyantap makananku, aku sunggingkan seulas senyuman kepada pelanggan lain di sebelahku. Aku ingin memastikan kepadanya bahwa aku tidak akan mengambil jatah makanannya. Baru saja aku hendak mengambil suapan pertama, pandanganku langsung fokus tertuju ke bawah meja. Aku melihat sesuatu yang tak asing lagi di mataku. Sekali lagi alam bawah sadarku menggerakkan tangannya untuk mengambil benda asing itu. Tidak mungkin, pikirku. Tidak mungkin sejumput bulu-bulu kecil itu mengikutiku. Lalu ini apa ? kataku dalam hati sambil memutar bulu kecil keriting itu.
“Hueekk !” Tiba-tiba saja teman makan sebelahku itu muntah tak terkendali.
“Idih, lu jorok banget si. Iiih.” Pelanggan itupun pergi dan tak mau membayar.
Kontan kejadian itu menarik perhatian semua orang. Pelanggan yang lainpun melihatku dengan tatapan jijik lantas pergi tanpa membayar makanan yang mereka pesan. Rumah makan sunyi seketika. Tanpa basa basi aku pun di usir secara tidak terhormat.
“Dasar anak kurang ajar ! Awas kalo kamu berani-berani datang lagi ke sini.” Teriak ibu penjaga rumah makan.

Umpatan dan cacian bertubi-tubi menyerangku. Aku pun terus berlari menghindari mereka yang sudah seperti kesetanan. Aku sempat tak percaya, benda sekecil itu ternyata bisa berdampak buruk di kehidupanku, atau hanya aku yang terlalu berpikiran negatif. Mulai detik ini ku nyatakan perang terhadap sejumput bulu-bulu kecil itu.

Aku sampai di kosan dalam keadaan selamat. Beruntung aku masih punya kaki yang masih bisa ku pakai untuk berlari. Sampai ke dalam kamar aku langsung meneliti apa ada tanda-tanda dari sejumput bulu-bulu kecil itu. Sekilas mereka tak menampakan wujudnya. Ku baringkan saja tubuhku ke atas kasur. Dan ternyata benda menjijikan itu dengan santainya ikut berbaring di atas kasurku. Langsung saja ku bersihkan kasur kesayanganku itu. Ternyata membersihkan kasur membuatku merasa ingin membersihkan semuanya.

Tanpa paksaan sedikitpun aku lantas membersihkan kamarku. Ku sapu seluruh permukaan lantaiku dan ku cuci semua pakaianku yang ternyata sudah menggunung. Semua ku kerjakan dengan hati penuh keikhlasan. Baru kali ini aku menikmati pekerjaan membersihkan kamar kosku.

Setelah berjam-jam aku membereskan kamar, tiba saatnya untuk bersantai dan beristirahat. Sungguh menakjubkan, lukaku seakan sembuh seketika. aku tak merasa sakit lagi, segala kesibukanku ternyata bisa mengobati rasa sakitku. Entah kenapa aku sangat berterima kasih kepada sejumput bulu-bulu kecil itu. Tapi aku tak mau langsung percaya, mungkin saja ini semua bagian dari politik konspirasinya agar aku lengah terhadapnya, aku harus terus waspada.

Hingga suatu pagi, aku terbangun tanpa beban. Biarlah dia pergi, aku masih bisa melanjutkan hidupku tanpanya. Sambil membaca sebuah buku, aku duduk di teras kelas. Suasana seperti itu memang membuatku bernafsu untuk membaca buku. Tiba-tiba semilir angin menerpaku, juga membalikan lembar –lembar halaman bukuku. Sangat tenang, hingga aku menemukan benda menjijikan itu lagi. Sejumput bulu-bulu kecil itu hinggap di atas lembaran-lembaran buku. Kontan aku langsung menyapu bersih permukaan halaman itu.

Rupanya kepanikanku menarik perhatian orang-orang di sekitar. Lantas aku pergi menjauh dari tempat itu dan berusaha untuk terlihat tetap tenang, walaupun jujur masalah bulu-bulu kecil ini benar-benar membuatku gila. Aku bingung kenapa mereka mengikutiku, aku khawatir ini adalah sebuah kutukan.

Aku berjalan, terus berjalan. Sejumput bulu-bulu kecil itu masih menari-nari di pikiranku. Semakin lama semakin menggila. Lalu aku coba berlari. Benda menjijikan itu malah ada di mana-mana, sebenarnya kutukan apa ini ? tanyaku dalam hati. Aku terus berlari sambil tidak memperhatikan sekitarku. Tiba-tiba saja, bruuk, aku menabrak seseorang dan membuat buku-buku yang dibawanya berjatuhan.
“Maaf.. maaf.. “ Kataku panik sambil berusaha merapikan buku-bukunya yang berjatuhan.
“Iya ga apa-apa ko.” Suaranya menembus telinga hingga ke hati.
Dengan adegan slow motion aku angkat kepalaku hingga ku menemukan wajah bidadari menusuk indra pengelihatanku. Ya Tuhan, kenapa kau pertemukan kami dengan cara yang klasik ? pertanyaan itu tiba-tiba saja ada di benakku.
“Sekali lagi maaf ya.” Kataku sedikit gugup.
“Iya santai aja, oh iya, kamu anak jurusan pendidikan bahasa inggris yang kemarin menang lomba menulis puisi itu kan ?”
“Hmm iya, ko kamu tau sih ?”
“Iya, a..aku suka banget sama puisi kamu, oh iya, kenalin namaku Nadin, Sastra Perancis.” Katanya seraya mengulurkan tangan.
Sebenarnya aku tidak tega menjabat tangan halus bidadarinya dengan tangan setan bau sulfur miliku ini. Tapi menolak rezeki adalah tindakan paling bodoh yang sama sekali belum pernah kulakukan. Dan akhirnya, untuk pertama kali, setan dan malaikat berjabat tangan. Jabat tangan tiga detik yang terasa seperti seribu tahun. Sejak saat itu, aku dan dia menjadi dekat dan sangat dekat. Hari demi hari kita lewati bersama, sepertinya ada saja yang membuat kami bertemu. Kita terus bersama dan berbagi cerita yang kadang membuat kita tertawa, kadang juga membuat hati kita berharu biru. Hingga akhirnya alam bawah sadarku mengambil kesimpulan bahwa aku mencintainya.

Suatu hari aku menatap matanya dalam, berusaha bagaimanapun caranya agar ia percaya aku akan menjaganya sampai liang lahat. Aku tak mau mengatakan cintaku padanya, karena itu akan merusak ketulusan cinta itu sendiri. Dia tersenyum padaku, sesaat kemudian dia menjadi milikku selamanya. Senyumnya memang pantas aku perjuangkan. Demi sejumput bulu-bulu kecil yang telah mempertemukanku dengannya, aku berjanji, aku akan mencintainya, meski itu berarti ku harus bermain dengan penderitaan. Karena aku yakin dia memang layak untuk aku cintai.























2 komentar:

  1. Rakage mengatakan...:

    males bacanya , panjang banget -,,,-

  1. Gumi El Rumi mengatakan...:

    Cari tulisan yang pendek juga ada :)

Posting Komentar