Deru juga getaran klasik kereta ekonomi Matarmaja tak juga berhenti menggangguku yang sebenarnya ingin segera tidur. Apa boleh buat, beginilah nasib mahasiswa rantau yang tak punya cukup biaya. Uangku takkan cukup untuk membeli sebuah tiket pesawat ataupun tiket kereta eksekutif. Alhasil, aku harus melewati dua puluh jam perjalanan dengan segala ketidak nyamanan yang ditawarkan oleh kereta ekonomi jurusan Malang, Kota Baru – Jakarta, Pasar Senen.
Satu hal yang membuatku bertahan adalah nasihat guruku. Guru matematika yang tak tahu kenapa menjadi guru kehidupanku. Pak Mukhlis Tanjung namanya, pria berbadan kecil tapi berhati baja yang telah membuat anak manja sepertiku berani mengambil keputusan untuk menempuh perjalanan yang cukup jauh hanya untuk melanjutkan kuliah. Tekad dan semangat mengajarnya benar-benar sudah bisa dikatakan hampir mendekati gila, di tambah ia adalah seorang pengusaha yang benar-benar mengandalkan keberanian dan kemampuannya dalam mengkalkulasikan segala kemungkinan.
“Jangan sekali-kali anda mengatakan kata “Tidak Bisa”, karena saya yakin anda semua yang ada di sini punya kemampuan, tinggal, bagaimana anda bisa mengelola dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kemampuan itu.” Kata Pak Mukhlis pada sebuah pertemuan kelas.
Suaranya yang melengking naik satu oktaf sangat khas di telinga orang-orang yang mendengarnya. Pembawaannya yang cukup sangar menjadikan para murid berdecak kagum dibuatnya. Meski terkadang kita sering risih dengan bibirnya yang tak jarang memuncratkan lahar panas yang siap memangsa siapa saja.
“Kalian ini masih muda, janganlah kalian sia-siakan tekad dan semangat kalian. Pergilah merantau ke pulau sebrang, setidaknya ke bagian timur pulau jawa. Di situlah kalian akan belajar tentang kemandirian dan juga bagaimana rasanya hidup jauh dari orang tua.”
Kata-kata itulah yang menginspirasiku untuk pergi jauh dari orang tua, bukan bermaksud untuk hidup sebebas-bebasnya, tapi hanya ingin merasakan bagaimana rasanya hidup mandiri. Akhrinya aku buang rasa malasku sejauh-jauhnya, dan aku mulai berusaha untuk menggapai salah satu impianku itu. Aku jadi sering mengadakan pembicaraan – pembicaraan kecil dengannya.
Pernah suatu ketika, aku menceritakan keragu-raguanku tentang melanjutkan kuliah atau tidak. Saat itu musim penerimaan mahasiswa baru, banyak teman-temanku yang mulai merencanakan untuk kuliah di tempat yang mereka inginkan. Mereka mencoba untuk memperbesar peluang dengan mendaftar di berbagai Universitas Negeri ataupun Swasta. Tapi tidak denganku, ibarat bermain basket, aku hanya punya satu kesempatan melempar, dan itupun harus lemparan Three point.
“Pertanyaannya cuma satu, kamu yakin ga kamu bisa ?” Tanya Pak Mukhlis semangat, meski sudah sehari penuh ia mengajar di berbagai tempat.
“Sa..saya.. yakin pak, tapi...” Kataku gugup menjawab pertanyaan Pak Mukhlis.
“Kalo kamu yakin, yasudah, ga usah pake tapi. Denger, hidup kamu cuma kamu yang megang, jangan dengerin kata orang, kalo kamu yakin bisa yasudah, perjuangkan. Bapak yakin kamu mampu, tinggal diasah lagi kemampuan-kemampuan dasar kamu, jangan remehkan matematika, percaya atau tidak, bapak bisa sesukses ini karena syariatnya bapak bisa matematika. Dan yang terpenting jangan lupa berdo’a”
Aku hanya bisa diam. Aku memang tidak sepercaya diri teman-temanku. Tapi satu hal yang pasti, aku yakin dengan semua mimpi-mimpiku. Dan akhirnya berkat rahmat Allah juga nasihat-nasihat Pak Mukhlis, aku berhasil lolos ke salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Timur, dengan jurusan yang sangat aku impi-impikan, Pendidikan Bahasa Inggris. Aku ingin menjadi Guru dan melanjutkan perjuangan yang Pak Mukhlis lakukan.
Angin masih berhembus pelan. Membawa aura dingin tengah malam, yang mungkin jika tanpa semangat aku tidak bisa melewati dua puluh jam perjalananku sendirian. Kau tahu, walau tidak terlalu membanggakan seperti cerita Andrea Hirata, tapi ini adalah perjalanan terjauh yang pernah ku lakukan sendirian selama hidupku.
0 komentar:
Posting Komentar