CERPEN – BALADA MAHASISWA RANTAU

Label: ,


Ada satu alasan mutlak kenapa aku sangat membenci kartu kredit. Bagiku dia seperti setan, yang bisa menghancurkan hidupku dalam semalam. Aku yang hanya keturunan Adam dan Hawa tentu saja tidak bisa menolak godaan untuk memakan buah khuldi yang ditawarkan oleh kartu neraka bernama Credit Card itu. Menyesatkan, benar-benar menyesatkan. Kau tahu, kini uangku habis, saldo ku nol karena keseringan menggesekan kartu sialan itu pada sebuah alat yang biasa terpajang di kasir-kasir. Alhasil aku harus berpuasa selama satu minggu karenanya. Untung ada temanku yang siap ku pinjami uang.
Baru tiga bulan aku hidup di sebuah kota bernama Malang. Memang kota ini tak se”malang” namanya, tapi tidak dengan nasibku, nasibku sangat sesuai dengan nama dari kota yang sedang ku tempati ini. Bermula dari sebuah keisengan memilih salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia, Akhirnya aku terdampar di kota ini tanpa tahu apa-apa. Benar-benar spontan, mungkin inilah yang dinamakan Rantau Tembak Langsung. Tak pernah terpikir olehku sebelumnya untuk melanjutkan studi di Jawa Timur.
Aku memang anak yang manja, jangankan jauh dari orang tua, dekat dengan mereka saja aku masih bersikap cengeng. Aku memang berasal dari keluarga yang sederhana dan biasa saja, tapi orang tuaku selalu memanjakanku dengan sejuta kenyamanan hidup yang di tawarkan. Mereka tak pernah sedikitpun marah padaku saat aku melakukan kenakalan-kenakalan. Tapi lebih dari itu, Ayah dan Ibu selalu menganggapku lemah. Alhasil aku tak pernah di izinkan bermain dengan teman sekampungku yang mayoritas anak dari pekerja kasar. Aku dibesarkan menjadi seorang penakut.
Sampai saat ini aku masih bingung, siapa yang harus bertanggung jawab atas mandegnya soft skill dan mental kemandirianku. Mereka bilang Mahasiswa itu harus mandiri dan harus bisa menjadi agen perubahan di Negeri ini, tapi tetap saja kita harus menyadari bahwa para agen perubahan tidak bisa di bentuk dalam waktu semalam, butuh proses. Dan aku adalah salah satu mahasiswa yang belum siap menjadi mahasiswa seutuhnya, apalagi mahasiswa rantau.
Mungkin benar kata guruku, apa yang kau pikirkan adalah apa yang akan kau dapatkan. Aku selalu berpikir bahwa sekolah di tempat yang jauh adalah sebuah kesialan, alhasil kesialan selalu datang bertubi-tubi menghiasi perjalananku ke Kota Malang ini. Kesialanku yang pertama adalah saat menaiki kereta ekonomi jurusan Pasar Senen-Malang Kota Baru. Ya, sudah ku bilang, orang tuaku bukanlah orang yang cukup kaya untuk membeli tiket kereta Eksekutif apalagi harus membeli tiket pesawat terbang. Kereta Ekonomi seperti sudah ditakdirkan sejak awal untuk ku tumpangi.
Suasana penuh sesak. Pedagang asongan hilir mudik mencari pelanggan seperti model yang sedang berjalan di atas catwalk. Bedanya yang mereka tawarkan bukanlah kemulusan body, bukan juga pakaian aneh yang biasa model pakaian peragakan, tapi yang mereka tawarkan hanyalah jajanan dan makanan yang belum terjamin nilai gizi juga kualitasnya. Aku pernah beberapa kali membeli makanan di dalam kereta ekonomi, hampir semuanya basi, tidak layak makan. Dan yang ku rasakan bukanlah kekesalan tapi keperihatinan. Realita telah membuat mereka mengesampingkan kualitas demi mendapat uang untuk membiayai anak istri. Dunia sungguh terlihat kejam di Negeri ini.
 “Yo, kalo kamu ngantuk, tidurin aja.” Terdengar lembut suara ibu.
Tidur ? di tempat seperti ini ? Tidak mungkin. Bau keringat, bau muntah dan bau pesing bercampur menjadi satu. Baunya mengalahkan bau parfum pelacur jenis apapun. Di tambah keadan yang ramai dan penuh sesak seperti ini, hanya pekerja kasar, buruh tambang dengan bayaran kecil dan orang yang tidak mengenal kasur empuk saja yang bisa tidur di tempat seperti ini dan sialnya orang itu ada di sebelahku, mengorok sekeras musik beraliran metal core dan dengan teganya ngiler di pundak yang selama ini ku jaga sepenuh hati. Tidak beradab, tidak berperikemanusiaan. Apa seluruh penumpang kereta ekonomi seperti ini ? sungguh, hanya Tuhan yang tahu.
Dua puluh jam kawan. Bayangkan, itulah waktu yang harus ku tempuh untuk sampai ke Kota Malang dengan menumpangi kereta terkutuk ini. Aku seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan. Anak manja sepertiku mana kuat berada di tempat mengerikan seperti ini. Bayangkan aku harus menahan diri untuk ke toilet hanya karena tak ingin kehilangan tempat duduk. Hukum rimba berlaku di sini. Siapa yang lengah dia akan menerima akibatnya.
Keributan dan ketidaknyamanan benar-benar tidak ada akhirnya di kereta ekonomi ini. Tengah malam lampu kereta tiba-tiba mati. Anak kecil berteriak dan menagis keras membuat kegaduhan luar biasa yang menyebabkan seisi gerbong mengeluh kasar dan malah menambah gaduh suasana. Pantat dan pinggangku pegal bukan main dan teman sebelahku masih mengorok menyandarkan kepalanya ke pundakku. Benar-benar sial, ingin rasanya aku berteriak, membabi buta dan menembaki mereka satu persatu, lalu ku lempar mayat mereka ke luar kereta yang sedang berjalan ini.
Pernah terpikir olehku, andai aku menjadi koruptor, mungkin aku tak bernasib seperti ini. Penjara untuk seorang koruptor jauh lebih nyaman ketimbang gerbong kereta ekonomi yang sedang ku tumpangi ini. Dunia memang selalu memihak pada keburukan. Hukum selalu seperti pisau di Negeri ini, runcing kalau ke bawah dan tumpul kalau ke atas. Dalam hati terbesit sebuah harapan, kelak aku harus menjadi koruptor.
Tidak ada gunanya melawan koruptor yang jelas-jelas di lindungi “Hak Asasi Manusia “nya. Atau jika boleh usul, bagaimana kalau uang hasil korupsi kita tukarkan saja dengan tiket kereta ekonomi jurusan Pasar Senen-Malang Kota Baru, bayangkan berapa banyak tiket yang akan di dapat. Dan para koruptor itu harus naik kereta api ekonomi itu bulak-balik sesuai jumlah uang yang ia korupsi, saya rasa hal itu cukup adil. Bayangkan hasil yang akan di dapat dari sistem seperti itu. Koruptor bakalan jadi aktivis anti korupsi, dan uang hasil korupsinya bakal jadi modal untuk perusahaan kereta api agar meningkatkan kualitas kereta ekonomi. Negara ini akan hidup nyaman dan sejahtera.

.: CERPEN @BUBBLE GUM STORY :.

Akhirnya aku terbangun dari mimpi buruk itu. Suara khas kereta ekonomi masih terngiang-ngiang di kepalaku. Hingga saat ini aku terbujur kaku di dalam sebuah kandang monster yang mereka sebut kosan. Anak manja benar-benar dapat pelajaran berharga kali ini. Aku menderita. Cucianku menumpuk, tugas kuliahku terbengkalai. Dapat teman baru tidak sebagus di pikiranku. Mereka telah menyesatkanku, membuatku lupa akan tugas kuliahku. Benar-benar sial.
Kalau sudah seperti ini penyakit rindu kampung halaman segera hinggap di pikiranku. Penyesalan selalu datang di akhir. Menyesal aku selalu menyusahkan orang tuaku. Aku hanya bisa berbuat onar, kini tak ada lagi yang membangunkanku untuk sholat subuh bahkan untuk sarapan pagi. Di sini aku seperti seorang pengangguran yang di tinggal istri. Malang nian nasibku. Aku iri pada teman-temanku yang hanya berkuliah di sekitar jakarta-bandung. Tidak sulit bagi mereka untuk pulang jika rindu mendadak datang. Rindu kampung halaman ini menggerogoti tubuhku, melemparku pada suatu titik kesendirian. Tak ada yang lebih nyaman ketimbang rumah sendiri, meski rumahku tak lebih indah dari gubuk derita. Andai waktu bisa ku putar, takkan ku biarkan tangan ini meng-klik tanda OK, sebagai tanda persetujuan bahwa aku akan kuliah di Jawa Timur.
“... Halo... Yo, kau ada di mana ?” Kata temanku lewat HP.
“Aku ada di kosan. Kenapa ?” jawabku malas.
“Aduuh.. ngapain kau di kosan. Cepat ke kampus, kita kumpul abis gitu kita pergi ke cafe. Temen-temen udah nungguin.”
Menggiurkan, ngopi dan ngerokok adalah kegiatan yang paling aku suka. Tapi tidak, aku harus berubah, aku harus jadi mahasiswa sejati bukan mahasiswa abadi. Aku tidak boleh lagi terjerumus ke dalam lubang yang sama. Inilah titik balik kehidupan. aku harus berlatih untuk menolak, tegas, lantang, cerdas.
“Wooy.. gimana ? mau ikut ga ?” gertak temanku.
“ehh.. i..iya iya. Tungguin.” Jawabku menyerah.
Hah, sekeras apapun aku berusaha menolak. Setan selalu menang atas diriku. Aku memang lemah. Pikiran seperti itulah yang menjangkiti otakku selama bertahun-tahun. Semua buku motivasi dari karya seseorang yang paling terkenal sampai kepada karya seseorang yang “benar-benar” tidak di kenal sama sekali tidak mempan untukku. Seminar-seminar motivasi yang sebenarnya ajang untuk bisnis pun sudah pula ku ikuti, tapi tetap saja kenikmatan mengalahkan segalanya. Aku telah menengguk cawan beresi anggur kehidupan, dan tak ada satupun orang yang bisa menyadarkan aku dari rasa mabuk ini.
            Dengan semangat empat lima aku pergi ke kampus. Namun semangatku terhenti ketika hendak menyebrang jalan. Inilah satu hal yang paling aku benci di kota ini, pengendara mobil dan sepeda motor. Inilah bukti bahwa toleransi di Indonesia bersifat utopis. Sehati-hati apapun aku menyebrang pasti menyisakan umpatan dan makian.
            “Wooy !! Janc*k !” Bentak supir angkot.
            “Lu tuh yang Janc*k.” Kataku tak mau kalah.
            Mereka sama sekali tidak punya mata untuk melihat para penyebrang jalan. Pokoknya orang yang paling aku laknat adalah pengendara dan satu-satunya yang bakal aku do’akan masuk surga di kota ini adalah tukang nasi campur dan lalapan. Mungkin agak sedikit berlebihan, tapi Cuma tukang nasi campur dan lalapan saja yang bisa mengerti keadaan mahasiswa. Mereka memberikan porsi makan yang banyak dengan harga yang sangat murah, di tambah kualitasnya yang lumayan, minimal tidak asal-asalan.
            “Heyy bro. Lama amat si lu ?” Kata temanku dengan logat Jawa Surabaya.
            “Biasa, supir angkot.”
            “Oh.. yaudah ga usah dipikirin, ayo kita pergi.” Kata Riko santai, seakan sudah biasa mendengar permasalahan diriku dengan supir angkot.
            Kami pun lantas pergi bersenang-senang. Mengopi dan merokok bareng teman-teman memang sangat mengasyikan apa lagi tak ada satupun orang yang berani menegurku karena merokok. Waktu SMA dulu, ayah selalu melarangku merokok, ia tak mau anaknya seperti dirinya katanya. Padahal hal itu sangat tidak masuk di akal buatku, bukankah buah selalu jatuh tidak jauh dari pohonnya. Yang jelas aku belajar merokok atas didikan ayah secara tidak langsung.
            Semakin rokok ini ku hisap, semakin aku teringat kenangan manis dengan ayah sewaktu ku kecil dulu. Ayah selalu merokok dengan gayanya yang khas, rokok yang ayah pilihpun tidak sembarangan, termahal, menurut ayah harga sebuah rokok juga kualitas tembakau sebuah rokok bisa menunjukan identitas dan jati diri seseorang. Kesimpulannya Rokok yang dipakai ayah jelas berbeda jauh dengan rokok para buruh tani maupun buruh bangunan.
            Saat itu sedang musim mobil balap Mini 4WD. Aku selalu merengek minta di belikan mainan itu, tak peduli kondisi keungan keluargaku saat itu, tetap saja aku ingin dibelikan mainan itu. Ibulah orang yang selalu melarangku, saat itu ibu seperti seorang musuh yang siap merusak kebahagiaan masa kecilku. Sedangkan ayahku berbeda. Ia selalu memanjakanku, ayah selalu memberikan apa yang aku inginkan. Tapi entah kenapa saat itu ia tidak langsung mengiyakan permintaanku.
            “Sabar ya de, nanti bapa belikan.” Kata Ayah sambil tersenyum.
            Aku bingung, sebenarnya apa yang terjadi ?. Tak biasanya ayah menyuruhku bersabar untuk di belikan sebuah mainan. Aku yang saat itu masih kecil belum begitu mengerti. Seminggu kemudian saat ayah baru pulang dari kantornya, ayah membawa sekotak hadiah kecil. Mini 4WD, wah, betapa girangnya aku saat itu. Aku tertawa dan berlari-lari layaknya anak kecil. Ayah hanya bisa tersenyum bahagia. Tapi ibu terlihat biasa saja, ia seperti tidak begitu senang. Ah, bodo amat, pikirku saat itu.
            Tiba-tiba saja terdengar percakapan kecil. Aku mengintip dari balik pintu kamar ayah.
            “Pokoknya bapa yang harus tanggung jawab. Ibu udah capek ngingetin, uang itu hanya cukup untuk kita makan selama satu minggu.” Keluh Ibuku.
            “Iya.. iya tenang saja. Itu diambil dari uang jajan bapak selama satu minggu ko. Bapak bahkan ga ngerokok selama satu minggu, bukankah itu bagus ?” Kata bapak sambil tertawa polos.
            Tiba-tiba hatiku hancur seketika. walau masih kecil, aku tergolong anak yang cukup sensitif. Tumpah ruahlah air mataku. Aku tak menyangka ternyata mainan yang sedang ku pegang ini adalah hasil kerja keras ayahku. Bayangkan saja, ayah yang pecandu rokok kelas berat, yang selalu membangga-banggakan rokoknya kepadaku, rela tidak merokok selama satu minggu hanya demi membelikanku sebuah mainan yang belum tentu bertahan selama tiga hari. Bahkan ayah mengorbankan uang makan siangnya. Lima puluh ribu harga mainan itu, saat itu nilai uang segitu masih tergolong cukup besar. Sejak saat itulah aku nge-fans berat sama ayah. Ayah lebih dari seorang pahlawan buatku.
            “Woy.. lu lagi mikirin apa sih ? dari tadi ko diem aja ?” Riko mengagetkanku.
            “Eh Rik, kaga. Gue Cuma lagi bad mood ja.” Kataku tak semangat.
            “Badmood kenapa sih ? udah si Ayu mah tinggalin aja. Masih banyak cewek yang lebih cantik di sini.” Perkataan Riko mulai menyebalkan.
            “Enak aja, gue bukan tipe cowok yang suka mainin cewek kayak lu !” Emosiku tiba-tiba naik.
            “Eh lu biasa aja dong ngomongnya !” Riko naik pitam.
            Kami pun terlibat perkelahian kecil, dan teman-teman sekitarku melerai aku dan Riko. Pikiranku kacau, tanpa pikir panjang aku langsung pergi meninggalkan teman-teman yang tidak bermanfaat itu. Mereka lebih layak masuk keranjang sampah.
            Sebenarnya ini bukan tentang Ayu ataupun tentang temanku yang super menyebalkan itu. Ini semua tentang ayahku, ini tentang betapa brengseknya diriku. Menghabiskan waktu dan kesempatan yang telah Tuhan berikan lewat kedua orang tua hanya untuk bersenang-senang dengan teman yang sama sekali tidak pantas disebut sahabat.
            Dalam lariku aku berpikir, betapa berat kerja keras ayahku yang sudah berumur hampir setengah abad itu. Andai waktu bisa kembali berputar ingin rasanya aku memperbaiki semua kesalahanku. Aku teringat saat aku sedang kecapean akibat terlalu aktif bermain bola, ayahku memijit kakiku. Sakit memang, tapi jujur pijitan ayah memang tidak ada duanya. Keesoksan harinya kakiku langsung sembuh.
            Aku berlari dan terus berlari. Lebih dari itu aku terus berlari dari kenyataan dan membawa pikiranku dalam penjara dunia abadi, penyesalan. Aku tiba di kosanku, dan tumpah ruahlah air mataku. Aku memang cengeng. Tak sepantasnya anak lelaki menangis. Tapi yasudahlah, rindu keluarga dan rasa kesepianku sudah tak bisa aku tahan lagi.
Dengan berbekal izin bolos kuliah selama satu minggu aku balik ke Karawang. Perjalanan yang melelahkan terasa seperti biasa saja ketika ku ingat wajah ibu dan ayah. Dan sesuatu terjadi, ku berdiri tepat di depan gerbang rumahku yang kecil, dan aku melihat bendera kuning berkibar dengan kencangnya. Aku ingin berteriak dan meminta maaf kepada ibu dan ayah, meski harus bersujud di depan makam mereka seumur hidupku.
           
           
             
             


 

2 komentar:

  1. Mizuki-Arjuneko mengatakan...:

    Cara penceritaan yang runtut sudah jadi poin plus sendiri, Gumi. Tapi kayak nggak fokus nih semakin ke belakang. Tentang kurangnya soft skill mahasiswa? Kartu kredit? Koruptor? Atau supir angkot? Mungkin juga karena judulnya yang general banget. Jadinya banyak yang kamu ceritakan di sini. Kalau dipecah-pecah jadi beberapa sesi cerita terpisah, dan digali lagi konflik en pesan setiap cerita, kurasa bisa jadi tulisan yang jauh lebih bagus en bermakna lagi =D

  1. Gumi El Rumi mengatakan...:

    oh ok mba, terima kasih komennya :D

Posting Komentar