Pada suatu mati, dalam setitik hidup. Ketika bulatnya
paradox adalah diriku, dan ketika kebingungan dan kepolosan cinta adalah
dirimu, aku mencintaimu dan mereka mencibirku, yang pada akhirnya berarti
mendaki langit tiada berujung dan menyelam danau gelap dengan nafas setengah
paru. Aku tak berarti apa-apa saat itu di matamu, hanya di hatimu. Terang
bagaikan benda pijar raksasa yang kau sebut matahari. Tegar bagai tombak takdir
yang tertancap mesra di dada seorang Nabi yang kau sebut Yesus. Namun tetaplah
tapi. Kerisauan hati adalah janji, yang menurutmu suci, dan aku tetap bermimpi.
Maka mengalirlah, tiada akhir yang indah pada bulatnya tekad. Hanya penyesalan
jika kau hanya diam. Menatapku dengan tatapan ragu, menyentuhku dengan ciuman
palsu.
Dan. Janji tetaplah malam yang dingin. Hidup tetaplah
rumah yang sepi. Kau menungguku, bukan dalam istana yang megah, hanya depan
pagar kayu dilapisi cat berwarna coklat, terlihat manis seperti dirimu. Namun
mematikan seperti racun. Kau pun terjaga bersama bulan, mengintip sela-sela
bahagia yang mereka curi demi hasrat terpendam. Sedangkan aku dan malam masih
sama seperti dulu, menunggu bulan dan kupu-kupu hitam, menunggu dirimu.
“Katakanlah kejujuran itu wahai manusia lelakiku.” Katamu
dari luar jendela.
“Aku tak memilikinya, pergi saja dan tidurlah hingga
kau bisa bermimpi. Tempat dimana kepalsuan bersemayam.” Kataku mencoba
membuatmu mengerti.
Lalu dengan simpul senyum ia untaikan tali percintaan
antara bumi dan langit. Menepis batas antara ada dan tiada. Paradox meraung,
menampakan amarah lewat harmoni keteraturan yang tak pernah kusukai. Dan demi
malam, bulan dan takdir, aku menyesal menciumnya, meneguk anggur dari kebun
misteri, menelusuri gua berhantu yang gelap tiada cahaya. Aku menyesal tak
merindukanmu saat hatimu hanya untukku.
Bisikku pada semilir : wahai semilir sampaikanlah untaian kata hati
ini padanya yang tak tahu dimana rimbanya...
“Kau
perempuanku, datanglah senja itu. Kelak kita akan menari. Meneriaki mati yang
jadi belenggu. Dan aku hanya ingin bersama dirimu. Merakit hati menjadi perahu
berlayar perak bermata angin. Hingga arah dan tujuan adalah padu, dimana mimpi
indah adalah nyata untuk kita.”
Semilir pergi, putri
badai itu memang sahabat setia saat hati tak lagi bernyawa.
Petang tak lagi bersuara.
Diam pun tak lagi hening, hanya teriakan mimpi yang
membelah ketakutan matahari.
Kau masih membisu. Beranjak kemudian. Tersuratlah
kata-kata dalam selembar kulit bambu misteri.
Tuanku, lelaki
pujaan. Diamlah bersama hati disenja ini. Aku telah merana beribu tahun karena
pengusiranmu tiada bandingan. Hujan dan petirlah yang kini merawatku. Hingga tuan,
sang lelaki lain menancapkan busurnya padaku. Hingga ku tak kuasa menahan gejolak
kebahagiaan. Biarkanlah aku membisu wahai lelaki terdahuluku. Biar cinta kita
tidak lari, biar cinta kita abadi. Meski ragaku kini bersama hati sang
pujangga, lelaki lain, entitas murni cerita percintaan kita.
Kabut memekat. Udara dingin menusuk pilu. Aku bersama
air mata dan senyuman, merelakanmu dalam pergi yang tak kembali. Mungkin hati
tak lagi memiliki, tapi cerita cinta memang hanya untuk kita. Untuk mu dan
diriku yang fana. Berlayarlah sejauh mungkin wahai putri malam, karena aku
tetap bisa melihatmu, dari kejauhan, dari dekat, maupun dari tidak dimana-mana.
Karena candu ini risau, gelisah ini mimpi. Lembaran ini hanya sebuah surat
untukmu. Untuk mengartikan betapa rumitnya hati tatkala kata tak lagi bermakna.
-dari hati, untuk cinta -
Gumiiii.... bahasamu itu tinggi seperti bahasanya khalil gibran :3 awesome :D