Malang, 9 – 10 Oktober 2012

Label:


                
Malang, 9 – 10 Oktober 2012




Tibalah aku pada suatu malam, pada suatu aroma musim hujan yang telah lama kurindukan. Gelisah meracuniku, kekasih kau mendiamkanku, dan lupa ucapkan selamat malam. Inilah saat-saat dimana kelemahan merobek imaji dan lelah meredupkan indahnnya idealisme masa muda. Aku telah terkoyak oleh badai tadi siang, maka janganlah kau ciptakan petir setelahnya, sayang. Wahai kekasih, peluklah aku dengan hatimu, jangan kau lepas meski kita telah bosan. Aku merindumu, disaat dekat maupun jauh. Jangan cemberut, tunggulah aku. Aku takkan melamarmu dengan barjalan kaki.
                Sudah lama aku merenung, lebih lama dari yang kalian ketahui. Tentang pagi, malam juga rindu yang tak tersampaikan. Ibu, mungkin bukan saatnya aku pulang. Ayah sabarlah menanti. Aku meraih mimpi bukan untuk siapa. Maka maafkanlah jika sekiranya kadang aku kehilangan arah. Bukan karena hidup terlalu keras, hanya kemalasan akut yang tertanam di hati orang manja sepertiku.  Maafkan aku, maafkan aku hingga udara sudah tak mampu lagi untuk ku hirup.  Lebih dari itu, do’akan aku saja saat kalian lupa mengirimkan uang bulanan.
                Lagu senja dan perjalanan panjang berdebu ini tak juga memberiku efek jera. Bahkan tulisan ini hanya sekedar tulisan. Jika tak berarti, maka berilah makna. Jika bermakna, maka maknailah lebih dalam.  Wahai pemimpin maafkanlah aku. Anak ingusan ini tak bermaksud mengguruimu, hanya mencoba mengingatkan. Karena manusia tidaklah sempurna. Ku yakin kalian tidaklah tuli, hanya saja jalan kalian terlalu bising dan berisik, hingga suara hati tak terdengar lagi. Ku yakin kalian tidaklah bisu, hanya saja makanan yang kelewat mewah telah meracuni lidah kalian hingga tak mampu lagi berkata jujur. Ku yakin kalian tidaklah buta, hanya saja gemerlap dunia telah menyilaukan mata hingga tak mampu melihat kami yang haus akan perhatianmu. Wahai pemimpin, kami butuh arahanmu, maka luruskanlah dulu arahmu.
                Malam semakin dingin, aku lupa memakai selimut. Tapi ku yakin, indahnya persahabatan kan lebih hangat dari selimut yang kini sudah lusuh itu. Sahabat, aku merindukanmu, dimanapun kau berada yakinlah bahwa kita akan kembali pada masa-masa indah dimana mi goreng dibagi berdua terasa mewah. Yakinlah bahwa kita kan tetap merindukan saat-saat dimana kau mentraktirku kebab turki dan aku mentraktirmu susu lembang. Kita kan tetap merindukan saat-saat dimana kita bersepeda mengelilingi kota yang kita pikir busuk itu. Sahabat, aroma musim hujan ini benar-benar menghancurkan hatiku, membuatku semakin rindu kepadamu yang dulu rela mengurusi ayam-ayam ternak kita yang meski pada akhirnya mereka mati juga, karena kita terlalu muda, karena ambisi kita telah jauh melampaui strategi. Tapi jangan kau pernah menyerah, tetaplah seperti itu. Kelak Allah akan kasihan juga melihat kita yang tetap hidup miskin meski berbagai usaha telah berkali-kali kita coba. Yakinlah bahwa satu trilyun itu akan kita raih dengan jalan yng mungkin sekarang berbeda. Tetaplah jadi sahabat sejatiku.

Malam sudah terlalu larut, ku yakin ibu kos sudah tidur. Maka besok pagi kan menjadi pagi yang indah untuknya. Aku akan bayar separuh dari tiga bulan.

Tuhan tetaplah jauh di atas sana, karena Allah kan tetap ada di tempat yang bahkan lebih dekat dari urat leherku. Karena tiada tuhan yang layak aku sembah selain Allah.












Mimpi indah DN..
Aku sayang  .... (penulis tiba-tiba tidur)............................................................ 

2 komentar:

  1. Prameswalatte mengatakan...:

    nice :-D Tulisan ini punya banyak sekali yang ingin disampaikan. Sampai sangat susah untuk mengenalinya satu per satu, hal apa yang ingin benar-benar disampaikan. Kata-kata yang digunakan masih seperti biasa mendayu-dayu dengan beberapa pengandaian. Nice, Gum ! ^,^ Lanjutkan.

    Oya, satu yang bisa ku kenali dari tulisan ini "DN" di akhir :D hehe

  1. Gumi El Rumi mengatakan...:

    thank you so much :D

Posting Komentar