FLASH FICTION – SEBUAH CERITA

Label: ,


Suatu kisah membawaku pada sebuah lorong yang sangat gelap dan sepi. Dinding-dindingnya yang beku menambah kengerian lorong itu. Sementara itu, di tengah kegelapan tiada berujung, terdengar suara langkah kaki yang berirama kekacauan. Dari suara langkah kaki itu tercium sebuah kesedihan dan segenggam ketakutan, aku mengartikannya cinta. Cahaya dari lampu yang ia genggam sama sekali tak bisa membantunya untuk menentukan arah, hanya perasaannyalah yang menuntunnya untuk terus berjalan. Sunyi, seperti segelas kosong berisi gas beracun yang siap membawa nyawamu pada kematian. Tidak, lebih baik mati, pikirnya.
            Peluh dan air matanya menjadi satu. Lorong mimpi itu seakan tak memiliki akhir. Sudah lama ia berjalan, mungkin berminggu-minggu, tapi tak juga ia temukan malaikat bersayap hitam yang siap mencabut nyawanya dengan senyuman. Keputusasaan telah menjadi kekuatannya, dan kesedihannya telah menjadi candu abadi. Siapakah gerangan yang bisa mengeluarkanku dari labirin yang menyesatkan ini ? Pikirnya ribuan kali. Diam-diam aku menyusup ke kedalaman hatinya, sangat suci, bersih, indah dan bercahaya.
            “Kenapa ia ? kenapa hatinya yang terang ini tak bisa mengeluarkannya dari labirin kesesatan ini ?” Tanyaku pada ketiadaan.
            “Diamlah dan teruslah berdo’a.” Sebentuk suara menyelinap masuk ke relung jiwaku.
            Semakin lama, semakin ku larut dalam kesedihannya. Hatinya kini begitu gaduh dan memekakan telinga. Suatu rasa yang menyeruak dari dalam telah bertubi-tubi menghujaniku dengan anak panah kengeriannya.
            Lalu aku berlari...
            Ketakutan apa ini ?, mataku melotot dan tertuju pada kekosongan yang ada di ujung jalan sana. “ Tidak... jangan kau masuki jalan keluar itu !” perintahku pada jiwa yang telah merindukan kebebasan ini.
            Seketika tubuhnya berguncang, seperti cinta yang telah sampai puncak. Kebahagiaannya melonjak naik. Hatinya kian sepi, sepi dari segala kegelisahan. Gadis ini memang benar-benar telah mempercayai kepalsuan. Beribu rasa sakit yang telah dialaminya di lembah paradoks, tak juga mengikat kakinya erat, ia tetap sama, kepolosan dan kebodohannya terlalu kuat untuk menghindari lubang yang sama. Aku putus asa, haruskah malaikat mendatanginya sekarang juga ? Tanda tanya besar menggantung di langit-langit otakku.
            Langkahnya terhenti, ia berdiri tepat di ujung lorong yang panjang dan mengerikan itu.
            “Wahai kebebasan, dekaplah diriku erat, dan jangan biarkan cinta merebut kecupanku dari bibir manismu.” Katanya sembari tersenyum.
            Dan iapun menghilang, di tengah jutaan cahaya yang ternyata tunggal. Keabadian telah pergi dari mulut manisnya. Kecupanku hilang sudah ditelan kekalutan yang segera memudar. Dia telah mati, bersama misteri terakhir. Selamat tinggal kekasihku, selamat tinggal Hyuliuna.



Satu masa berlalu...
jiwaku berganti, tak lain menjadi seorang penggembali kambing. Suatu masa, suatu ketika, atau suatu apapun itu kau menamainya, aku bertemu dengan sahabatku Rindu. Wujudnya seperti kambing, hanya saja matanya seperti mata Dewa, satu sudah cukup untuk melihat kebenaran.
            “Rindu, entah sejak kapan aku berteman denganmu...” kataku lirih.
            “Sejak kau mulai sibuk menggembalakan kambing-kambing hitammu wahai sahabat, tiadakah kau merindukan kebenaran ?”
            “Aku hanyalah pemuja terang, tiadalah aku melihat kebenaran yang gelap dan kotor.” Hatiku lirih.
            “Kalau begitu, hinggaplah pada suatu sore yang pekat, indah dan memabukan, maka kau akan menemukan kepalsuan, cahaya abadi.”
            Lalu ia pergi, sayapnya terbentang luas, seluas penderitaannya, matanya kembali tertutup, dan tanduknya meruncing seram. Ada apa ini ? Waktu, kenapa kau terus berputar, apa ia telah kehilangan kekuatannya ? Ataukah sayapnya sudah mulai layu ?. Rindu, cintaku, Rindu malaikatku, dan Rindu, iblis musuh Adam.
Indah, tentang kemarin, pada suatu senja. Aku menarik simpul kebahagian dengan senyum penuh kehangatan. Dia yang telah pergi, akan segera menjadi abu kenangan. Sementara itu, di balik kekosongan. Tepat di tengah langit yang merona biru itu aku melihat sebuah retakan. Retakan yang selama ini mungkin menyimpan rahasia purba berumur jutaan tahun. Aku menghampirinya, dan langit menghentikanku.
“Perlihatkan padaku tentang sesuatu yang bisa menghentikan Sang Waktu.” Kata Sang Langit senja itu.
Lalu kurobek jantungku, dan kuperlihatkan padanya sebuah kebulatan hati yang berisi cinta. Dan langitpun menjadi murung, menunduk kemudian dan akhirnya mempersilahkanku untuk mengkhianati gravitasi.
“Aku terbang.” Kataku senang.
Retakan itu terus menyebar, terus merayap, dan Sang Langitpun mengerang. Demi Hujan putra Badai, Langit telah tua, langit akan runtuh. Tinggalah aku, pada suatu detik yang tiba-tiba berhenti. Waktu telah mati, sayap Malaikat Hitam membelah cakrawala. Pemandangan surgawi telah menutupi berdirinya matahari.
Lalu dengan setitik keyakinan aku melangkah. Tak peduli jika takdir menginginkanku mati. Aku telah menyaksikan berjuta penderitaan. Aku tak mau mengulanginya lagi, dengan menghindar dari panggilan cinta. Hyuliuna. Ku pejamkan mata, dan ku sentuh retakan langit itu dengan sepenuh hatiku.
Maka pecahlah langit, serpihannya, seperti serpihan cermin yang menghempaskanku, tapi tekadku sudah bulat. Biarlah serpihan itu mengulitiku, menghujamku dengan berbagai cara. Karena keyakinan telah mengambil alih perasaanku, dan cinta telah menggenggam erat akal sehatku, seperti genggaman persahabatan yang takkan pernah musnah.
Dan cahaya itu pun datang, cahaya di ujung jalan yang hanya bisa ditemukan pada sebuah lorong kehidupan.  
“El...” Sahutnya rapuh.
“Hyuliuna..”
Langit telah hancur lebur, dan bertebaran ke luar jagad, seperti abu yang ditiup angin. Maka tinggalah kita berdua, berdiri di tengah ketiadaan, bersandar pada sebuah tembok khayal, kepercayaan.
Pertemuan ini sama seperti waktu itu, saat penciptaan baru tumbuh sebagai tunas, saat Sang Badai masih muda, semuda semilir angin. Kedamaian yang kurasakan masihlah sama. Rumput tetap hijau, langit tetap biru. Maka kebutuhan tentang wujud indah kehidupan pun memudar.
Perlahan tangan Hyuliuna yang lembut itu meraba halus pipiku yang sudah penuh luka ini. Aku bisa merasakan betul kerinduannya yang sangat mendalam terhadapku. Oh, Hyuliuna, sudah berapa lama kita berpura-pura bahagia ketika jarak memisahkan kita.
Dengan segenap cinta, aku mencium keningnya. Matanya terpejam dan kebahagiaan menyelimutinya. Seakan terjadi badai, Hyuliuna mencium bibirku mesra. Sentuhannya sama seperti dulu, aku bisa merasakan kelembutan dan wangi harum kerinduan. Hyuliunaku telah membakarku, dengan hatinya yang beku, dengan ketakutannya yang sepanas api neraka.
            Seperti itulah akhir, seperti itulah awal. Sebuah cerita yang membawa lorong kehidupanku kedalam kefanaan yang abadi....


 




           

1 komentar:

  1. Gumi El Rumi mengatakan...:

    Sebuah cerita, perasaanku, misteri dan romantisasi kehidupan senja

Posting Komentar