CERPEN - KETIKA CINTA KELILING DUNIA

Label: ,


Oleh : Gumilar Prastio

             Sekitar satu tahun yang lalu, secarik kertas ajaib telah merubah hidupku. Di setiap guratan pensil berbentuk angka-angka itu memiliki makna dan nilai magis yang hanya aku yang bisa mengartikannya. Dan sebuah tangan halus nan mulia telah dengan sengaja memberikannya padaku. Hingga malam ini, aku masih rela menyisihkan waktu tidurku unutk mengenang kembali masa indah itu lewat secarik kertas ajaib milik bidadari surga.
            Nadin lah yang sudah bersedia dengan setulus menyalin soal matematika kedalam secarik kertas ini, agar ku tak kena hukuman membersihkan toilet akibat tidak mengerjakan tugas matematika pertamaku yang diberikan dua tahun lalu oleh guru paling killer se SMAku. Sungguh perbuatan yang sangat mulia.
            Setelah beberapa bulan berlalu akhirnya kami mulai menjalin hubungan persahabatan. Padahal aku berharap untuk menjadi lebih dari seorang sahabat. Tak peduli betapapun seringnya ia meremukkan hatiku, tetap, senyum merona merahnyalah nomer satu di relung jiwaku.
 Kau tahu, aku mencintainya bagai pungguk merindukan bulan. Belumlah sempat ku nyatakan cintaku padanya, seorang kakak kelas berwajah tampan dan berkantong tebal mendekatinya dan menjadikannya pacar, padahal akulah yang lebih dulu mengenal Nadin. Aku yang secara ilmiah jelas-jelas tak memiliki nilai jual yang sebanding dengan kakak kelas sialan itu, akhirnya hanya bisa gigit jari sambil memegang buku karangan Dale Carnagie, “Cara Menghilangkan Kesedihan dan Memulai Hidup Baru”.
            Dulu kami begitu dekat, kami pun mempunyai mimpi yang sama, keliling dunia. Tahukah kau dari mana mimpi itu di dapat ?. Tak lain dan tak bukan itu karena kami kena penyakit gila no. 6 : keranjingan baca tetralogi Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata. Empat buah buku yang selalu kami bawa ke sekolah untuk dibaca berulang-ulang.
            “El..” sayup terdengar melodi nan indah mengumandangkan nama depanku.
            “Ya Nadin..”  Jawabku pelan.
            “Apakah kau percaya bahwa kita benar-benar akan keliling dunia ?” kembali ia nyanyikan nyanyian surgawi lewat sebuah pertanyaan.
            “I always trust you my black butterfly.” Jawabku sama sekali tak nyambung. Ku panggil dia kupu-kupu hitam karena ia sangat suka dengan kupu-kupu, khususnya yang berwarna hitam.
            “Aku tak memintamu percaya padaku Putra Badai.” Katanya seraya meledekku dan tertawa keheranan.
            “Maaf.. maaf..” jawabku cengengesan. Aku baru sadar kalau sedari tadi ku sedang melamun.
            Begitulah jika ku sudah menatap matanya. Kacau tak karuan hatiku. Semua penat yang ku  rasakan setelah di marahi oleh semua guru di sekolahku pun, seakan hilang di telan senandung kebahagiaan.
Kebiasaanku dengannya yang takkan pernah ku lupakan adalah bersantai di depan kelas SBI yang terletak di lantai dua bangunan sekolahku sambil menyaksikan matahari terbenam sepulang sekolah. Sungguh kebahagian tiada tara ketika ia memuji puisi pertamaku berjudul Aku dan Badai. Dan sejak saat itulah dia memanggilku Putra Badai.Tak sedikitpun aku keberatan di panggil dengan nama aneh itu. Karena menurutku itu adalah panggilan sayang darinya untukku. Walau sebenarnya ia tak pernah berkata demikian.
            Mimpi kami pun hampir menjadi kenyataan ketika aku dan Nadin lolos seleksi babak pertama program pertukaran pelajar keluar negeri. Meski pilihannya hanya ke Amerika dan Jepang tapi ku jadikan itu sebagai langkah awal untuk mewujudkan mimpi gila kami, keliling dunia.

            Semua mata tertuju pada papan pengumuman hasil seleksi babak pertama. Dari belakang aku dan Nadin mencoba untuk menerobos kerumunan. Saking padatnya, aku hanya bisa sampai tengah-tengah antrian. Ku lihat list dengan teliti dan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sungguh menakjubkan namaku tertera di urutan paling atas dan Nadin berada tak jauh di bawahku. Kontan aku langsung berlari menyerbu Nadin. Senyumnya pun merekah ketika ku teriakan padanya, “KITA LOLOS.”
Keesokan harinya kami langsung melaksanakan seleksi yang kedua, yaitu seleksi wawancara. Aku semakin percaya diri ketika ibuku membelikanku kemeja berwarna kuning elegan bergaris tipis merah maroon, sangat elegan. Tak sabar menanti jatah wawancara. Aku melihat ke bawah, ke kelas dekat lapang futsal sekolahku, karena di sanalah tempat kupu-kupu hitamku, Nadin La Frida, melaksanakan seleksi.
            Jantungku sedikit berdebar ketika tatapan lugu nan mempesonanya sedang mengarah kepadaku. Nadin tersenyum padaku dan aku siap untuk terbang ke langit tertinggi seraya berteriak keras “AKU MENCINTAIMU, WAHAI PUTRI KUPU-KUPUKU !”
            “Oh, kiss me and smile on me.” Ku mulai kalimatku dengan lirik sebuah lagu.
            “Tell me that you wait for me.” Tak ku sangka ia membalas senandungku dari bawah sana.
            “How me love you never let me go..” Aku semakin hanyut dalam nyanyian
            “Cause I’m leavin’ on the jet plane, don’t know when I’ll be back again, oh babe, I have to go..” Akhirnya kami pun menutup lagu ‘Leaving on the jet plane’ karangan Jhon denver itu secara berasama-sama. Nadin La Frida mengambil suara satu dan terpaksa aku mengambil suara dua.
              Selesai kami bersenandung ria, akhirnya terdengar suara panitia memanggilku dengan suara nyaring mencitutkan nyali.
            “Good luck.” Katanya perlahan.
            “You too.” Balasku sembari tersenyum.
            Tak ku sangka seleksi berjalan cepat. Aku keluar dengan memaki si penyeleksi dalam hati, karena wajahnya yang selalu terlihat masam meski ku sajikan humor paling ampuh saat ku diwawancara. Kini aku benar-benar tak yakin dengan hasil yang akan ku dapat. Ku sadari rasa gugup saat berada di tempat seleksi benar-benar terlihat jelas. Dan sialnya aku tak bisa menghilangkan rasa canggungku itu.
            Untuk meredakan ketegangan, akhirnya ku putuskan untuk turun ke bawah mencari Nadin. Ku lihat tak ada siapa-siapa di luar kelas tempat Nadin seleksi. Itu artinya Nadin sedang berjuang di dalam. Ku terus berharap seraya memanjatkan do’a, agar ia tak gugup sepertiku.
            Aku menunggu cukup lama, akhirnya Nadin keluar dengan wajah cerah merona. Tak Nampak kegelisahan di raut wajahnya itu.
            “Hei, gimana seleksinya ?” Tanyaku masih gugup.
            “Alhamdulillah lancar, kamu ?” jawabnya sambil tersenyum. Lalu dengan mulut masih gemetaran aku menjawab. “Sama.” Sesungging senyum tergambar di bibirku dengan pola yang sangat aneh, karena senyumku disertai rasa pahit dan keragu-raguan.
            Hasil seleksi di umumkan hari itu juga, Aku dan Nadin menunggu dengan cemas, sembari berlatih untuk tetap berjiwa besar dan menerima keadaan yang sama sekali tak kami harapkan.
            “Nadin La Frida.” Ujar sang panitia berwajah klimis.
            Nadin beranjak dari tempat duduknya seraya berkata padaku “Do’akan aku El.” Dan ku balas dengan anggukan serta senyuman semanis madu.
            Tak tahu mengapa jantungku berdebar. Ku lihat dari kejauhan Nadin dan beberapa juri sedang mengobrol, entah apa yang diobrolkan oleh mereka. Ku pandangi Nadin La Frida lekat-lekat, sesungging senyum tergambar jelas di wajahnya. Sehabis bercakap-cakap mereka saling berjabat tangan. Saat itulah aku yakin bahwa Nadin La Frida, seorang gadis yang paling ku sukai di dunia ini lulus seleksi keliling dunia, maksudku ke Amerika. Hatiku senang sekaligus cemas. Apa aku akan pergi bersamanya ?.
            “Haha, lihatlah surat pernyataan ini El, bacalah keras-keras hingga ku tersadar bahwa ku benar-benar akan pergi ke Amerika.” Katanya girang.
            “Benarkah ? kau lulus ? haha Alhamdulillah.”  Kataku sambil menelan ludah. Aku semakin cemas, aku takut jika ternyata Allah belum mengizinkanku pergi bersama Nadin-ku.
            “Thanks atas do’anya El. Hm baiklah sekarang gantian, aku yang berdo’a buat kamu. Ku tunggu kau di luar.” Ujarnya sambil melesat ke luar ruangan yang menegangkan ini.
            Melihatnya pergi meninggalkanku di ruangan ini seperti mengisyaratkan padaku bahwa Nadin akan pergi meninggalkan ku untuk waktu yang sangat lama. Leherku semakin tercekat.
            “El Rio.” Suara Panitia berwajah klimis itu mengumandangkan namaku dengan nada minor agak sedikit sumbang.
            Aku berjalan pasrah.
            “Maaf El Rio sepertinya anda belum siap untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika, sekali lagi maafkan kami karena tiket itu tak kami berikan kepadamu.” Ujarnya santai.
            Deg, jantungku serasa berhenti berdetak, hatiku terasa ngilu. Ku lihat wajah Sang Juri yang datar, semakin menambah galau perasaanku. Tanpa permisi aku keluar ruangan dengan rasa kecewa.
            Sambil menutup pintu aku berusaha untuk terlihat tegar di depan Nadin. Langkahku gontai. Pikiranku benar-benar kacau. Beginilah nasib orang yang terlalu kuat berharap tanpa mengasah mental kalau-kalau harapannya tak terkabul.
            Aku terus berjalan menuju Nadin dengan kepala menunduk. Baru setengah perjalanan, tepatnya di depan lapang futsal, sayup-sayup ku dengar sebuah suara yang tak asing lagi bagiku, itu suara Nadin. Namun ku tak berani mengangkat kepalaku, karena ternyata ia tak sendiri, terdengar suara lain yang lebih maskulin yang sudah pula ku kenal, Baim, kaka kelas yang telah merebut Nadin dariku.
            Dengan detak jantung yang sedari tadi tak henti-hentinya bergemuruh, ku beranikan diri untuk mengangkat kepalaku, mencoba untuk tetap berjiwa besar meski ku tahu seribu tusukan jarum akan siap menerjang hatiku tatkala ku lihat Nadin sedang berdua dengan pacarnya yang jelas-jelas tak pernah ku restui, walau mereka tak butuh restu dariku.
            Sunyi seketika, waktu seakan berhenti berputar. Kepalaku seperti berkunang-kunang. Hatiku melebur menjadi abu ketika ku lihat Baim dan Nadin-ku sedang berpegangan tangan dan tatapan mata mereka bersatu, pertanda bahwa sedang terjadi gejolak emosi yang sangat menyenangkan dari dua insan yang saling mencintai itu. Di tambah senyum yang merekah dari bibir Nadin, senyum yang seharusnya hanya tertuju padaku kini ia tujukkan pada satu-satunya orang yang paling aku benci.
            Sekali lagi leherku tercekat. Hatiku remuk sudah tak mungkin bisa ku perbaiki. Mungkin inilah yang orang-orang bilang, sudah jatuh tertimpa tangga. Malang nian nasibku. Tiket ke Amerika melayang, cinta pun kini telah hilang. Kembali ku gigit jari untuk yang kedua kalinya sambil menggenggam erat sebuah buku berjudul “ Air Mata dan Senyuman” karangan Kahlil Gibran.


            Sebulan berikutnya akhirnya Nadin pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal padaku. Aku tak tahu mengapa. Apa mungkin aku benar-benar tak berarti apa-apa di matanya. Hampir delapan bulan lebih ku pandangi pergerakan Nadin nun jauh di sana lewat sebuah situs jejaring sosial. Tak ada tanda-tanda ia memikirkanku. Ia hanya sibuk dengan teman barunya. Pesan yang kukirimpun tak pernah ia balas.
 Pernah suatu kali ku melihat sebuah catatan kecil di Facebooknya, ia menceritakan kisahnya keliling dunia bersama keluarga angkatnya yang sangat kaya. Perasaanku campur aduk antara sedih dan bahagia. Bahagia, karena Nadin sudah berhasil mewujudkan mimpinya, sedih karena ia telah  benar-benar melupakanku.  
            Senyum sempat merekah saat ku tahu ia telah putus dengan kakak kelas itu. Tapi senyum manisku tak bertahan lama terlukis di wajahku saat ku tahu ia menjalin hubungan dengan seorang pria di Amerika sana, yang jelas-jelas lebih aku benci dibanding dengan kakak kelasku.
            Hah, setahun sudah ku menanti sebuah ketidakpastian hidup. Cinta memang benar-benar membuatku gila. Nadin memang telah mencampakkanku seperti kacang yang lupa pada kulitnya. Tapi aku si manusia bodoh berotak udang tak bisa mengganti status hatiku dari cinta menjadi benci padanya. Aku selalu yakin dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih tersimpan kenangan manis saat bersamaku.


            Malam yang temaram. Di balut dengan rasa dingin yang menyiksa raga. Aku masih duduk menyendiri di pojok ruang tahanan no. 666, (baca : kamarku). Masih dengan secarik kertas yang ku genggam erat. Masih dengan air mata yang terus berlinang. Rasa cinta, rindu dan kecewa bersatu membentuk sumber kekacauan jiwa. Nadin La Frida, andai kau tahu perasaanku.
            Beginilah jika cinta keliling dunia. Menguras batin juga menguras isi perut karena makan pun tak enak tatkala mengetahui bahwa dirinya yang ku sayangi tak kunjung ada di sisi.
            Kesunyian sempat terpecah belah saat Handphone-ku berdering. “Hadi ? ada apa tengah malam begini dia menelponku ?” tanyaku dalam hati.
            “Assalamualaikum Di, ada apa ?” tanyaku penasaran.
            “Waalaikumsalam Begini El, sore tadi sekolah dapet kabar buruk, pesawat yang mengangkut peserta Pertukaran pelajar dari Indonesia karam di lautan pasifik. Aku tahu itu dari Pak Sam, wali kelas kita.” Jawab Hadi panik.
            HP ku jatuh tanpa ku tutup. Bibirku kelu seketika. Belum pernah aku merasa lemas seperti ini. Seperti ribuan jarum menerjang jantungku. Sakit bukan main. Hadi berteriak keras memanggilku lewat speaker HP ku. Sedangkan aku sibuk mengejar cintaku dan mencoba meraih senyum Nadin yang semakin lama semakin menjauh sampai akhirnya tak terlihat dalam imajinasiku.


            Jika malam temaram. Maka seharusnya pagi merona biru. Tapi tidak untuk hari ini. Ku perintahkan awan untuk tetap kelabu, karena Nadin La Frida telah pergi. Karena kesedihan telah menyambangiku ribuan kali di tempat sepi ini.
            “ Tak pernah kita duga bahwa akan seperti ini jadinya, seperti kita ketahui bahwa kelima murid kita yang sangat kita cintai ini sangat berarti untuk sekolah kita. Mereka adalah pejuang bagi SMA kita. Kita terus berharap bahwa mereka akan tetap ada di tengah-tengah kita. Menghiasi hari-hari kita di sekolah. Tapi ternyata takdir berkata lain. Ternyata Tuhan memutuskan untuk memanggil mereka….”
            Suara Kepala Sekolah menghiasi suasana haru biru seluruh warga sekolahku. Terlihat di bawah sana semua temanku memakai pakaian serba hitam sambil menunduk dan terisak, menangisi kepergian ke lima teman mereka itu. Sedangkan aku, masih memakai Piyama berwarna putih sambil duduk di atas atap kelas SBI 2 sambil melihat kupu-kupu hitam hilir mudik mencari pasangannya.
            Ku pandangi lagi secarik kertas ajaibku, secarik kertas yang berarti kasih sayang yang tak tersampaikan. Dengan hati pilu bagai di iris sembilu. Kutuliskan sebuah bait puisi kesakitanku akan cinta yang tak kunjung tiba.
           
“Waktu terus berlari, namun keabadian tetap diam,
 Seperti itulah cintaku yang kini hilang di telan malam yang temaram,
Tapi ingatanku tentangmu akan selalu menghiasi imajinasi gilaku
Kini , di tengah padang pasir kehampaan,
Di tempat pertama kali ku menyentuh hatimu,
Ku teriakan pada langit beku, selamat tinggal Kupu-kupu hitam-ku…”

Kulipat-lipat secarik kertas berharga itu dengan pola tertentu hingga membentuk sebuah pesawat terbang sederhana. Lalu dengan hati penuh keikhlasan ku terbangkan pesawat mainanku itu. Peasawat itu terbang meliuk-liuk, melewati kerumunan teman-temanku dan akhirnya karam di kolam ikan kenangan milik sekolahku. Dan begitulah akhir dari sebuah obsesi gilaku.
           
           

     
           
           





0 komentar:

Posting Komentar